Teungku Putik (Bagian 3/Habis)

Teungku Putik (Bagian 3/Habis)

Ilustrasi. @Doc. merdeka.com
4. Akhir Resistensi
Pasca perdamaian tersebut, Teungku Putik kembali mengaktifkan lembaga pendidikan agama beserta meuseujid dan meunasah sebagai pengajian di Nigan yang lama tidak dimanfaatkan lagi. Kegiatan-kegiatan sosial yang pernah dilakukan dahulu kini kembali dijalankan oleh Teungku Putik dengan bantuan Belanda untuk kemakmuran kehidupan masyarakat di perkampungan. Pada tahun 1916, beliau kembali ke Seunagan untuk melanjutkan pembangunan baik di bidang agama maupun sosial ekonomi. Sehingga Teungku Putik mengangkat wakilnya di Seunagan, seperti Teungku Abdullah di Gampong Seumayam, Teungku Muhammad Arifin di Gampong Panton Limeing, dan Teungku Gadong di Gampong Tripa.

Masih ragunya Belanda dengan penyerahan diri atau perdamaian Teungku Putik terjadi pada saat terjadi percobaan pembunuhan terhadap Kolonel G.F.V. Gesenson di Gampong Suak Bilie pada tahun 1917 oleh tiga orang pemuda. Belanda menggap bahwa ketiga pemuda tersebut pernah menjadi pengikut dari Teungku Putik, sehingga Belanda melalui asisten Resident West Koest van Atjeh yang dijabat Kolonel Schmitd menangkap beliau. 

Pada penangkapan tersebut Kolonel Schmitd mengatakan bahwa beliau diundang Mayor Bekring ke Meulaboh karena ada sesuatu keperluan untuk dibicarakan. Sejak saat itu Teungku Putih tidak lagi terdengar kabar, para keluarga dan pengikutnya hanya ditinggalkan bertanya-tanya. Namun sebelum ditangkap, beliau telah menitipkan pesan kepada Teuku Raja Tampok bahwa bilau akan ditangkap dan tidak mungkin kembali lagi ke kemari (Seunagan).

Pada tahun 1920, pihak keluarga menerima sepucuk surat daru Teungku Putik yang isinya sebagai berikut:
“Kami sekarang berada di tengah-tengah masyarakat Banyumas, dan dibebaskan bergerak dalam bidang keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Tetapi berpegang tegulah kepada jalan Allah Swt., dan hanya kepada-Nya kita semua akan kembali, oleh karenanya beramal shalih dan berjihadlah, semata-mata karena Allah, jangan dipercayai oleh syaitan. Surat ini jangan dibalas karena membahayakan kehidupan kita”.

Surat tersebut dibawa oleh pejuang dari Seunagan yang telah dikembalikan ke masyarakat. Beliau pernah bertemu dengan Teungku Putik di Banyumas.

Menurut beberapa sumber yang pernah berkunjung ke Banyumas, disebutkan pada tahun 1933, Teungku Putik meninggal dunia pada usia 85 tahun. Beliau dimakamkan di sebuah perbukitan di Kabupaten Banyumas bekas Keresidenan Kedu di Jawa Tengah.


Sumber:
muhammadsaifullah.com

Teungku Putik (Bagian 2)

Teungku Putik (Bagian 2)

Ilustrasi. @Doc. merdeka.com
3. Resistensi Terhadap Belanda
Perlawanan-perlawanan yang terjadi di Nagan Raya (Seunagan) merupakan bagian dari perjuangan rakyat Aceh dalam menentang Belanda. Pasukan yang dipimpin oleh Teungku Putik menghimpun suatu barisan jihad dengan 200 orang anggota pasukan muslimin yang dibagi ke dalam enam kelompok untuk mencegah serta membendung serangan yang diluncurkan oleh marsose Belanda. Dengan memanfaatkan alam sebagai benteng pertahanan, pasukan Teungku Putik menggunakan teknik gerilya untuk menyerang dan menyergap Belanda. Dalam melakukan gerilyanya, pasukan Teungku Putik dan Teungku Kapa yang merupakan santri sekaligus panglima pasukan berhasil menyergap pasukan marsose Belanda di Gunong Buloh, Keude Neulop, Pulo Ie, Paya Udeung, Cot Meugat, Reudep, dan Rambong Cut dengan hanya bersenjatakan pedang (peudeung) dan kelewang (reudeuh).

Pada tahun 1902, pasukan Belanda yang dipimpin oleh Letnan Brewer menyerang Jeuram yang merupakan tempat pertahanan dan berkumpulnya masyarakat Seunagan. Pasukan Teungku Putik yang dibantu Uleebalang Tueku Keumangan dan panglimanya Pang Bacah beserta masyarakat berhasil memukul mudur pasukan Belanda ke Pulo Ie. Pada serangan tersebut membuat Belanda harus kehilangan 15 orang pasukannya yang tewas dan 10 orang luka-luka, sedangkan dipihak muslim Seunagan 8 orang tewas dan 10 orang luka-luka ringan. Sejak saat itu Belanda terus menerus melakukan serangan ke Jeuram hingga membuat pasukan Teungku Putik terpaksa mundur ke Paya Udeung.

Setelah merebut Jeuram, Belanda kemudian membangun benteng di daerah tersebut seluas 300 meter. Meskipun telah membangun pertahanan yang tangguh namun gigihnya pasukan gerilya yang dipimpin oleh Teungku Putik membuat Belanda tidak henti-hentinya melakukan pengejaran, baik itu penyergapan bahkan pemberian hadiah kepada orang-orang yang mampu menangkapnya. Namun seakan semua itu sia-sia, hal ini disebabkan masyarakat yang tidak berani berkhianat karena rasa cinta, segan, dan hormat kepada Teungku Putik yang dianggap juru penyelamat.

Direbutnya Jeuram oleh Belanda, Teungku Putik dan Teuku Keumangan memindahkan lokasi pertemuan ke daerah Sapek. Di situ, pasukan Teungku Putik juga mendirikan sebuah masjid yang bertujuan untuk  pembinaan sekaligus untuk terus mengindoktrinasi perang sabil kepada anggota-anggota serta masyarakat yang ada di gampong tersebut setiap saat pengajian dan perjumpaan lainnya. Ketenangan pertahanan di daerah Sapek tidak berlangsung lama, sebab tempat tersebut telah diketahui dan Belanda beserta pasukan mencoba melakukan penyerangan ke daerah tersebut.

Sulitnya medan yang harus dilalui pasukan Belanda menuju Sapek menjadi sebuah keuntungan tersendiri bagi pasukan Teungku Putik untuk melakukan serangan dan penyergapan. Hal ini dikarenakan jalan-jalan menuju daerah tersebut masih penuh dengan hutan lebat yang berlumpur serta berawa dan keadaan ini menjadi benteng bagi pasukan Teungku Putik. Sulitnya melumpuhkan pasukan Teungku Putik dengan pertahanan benteng alamnya membuat Pemerintahan Belanda di Meulaboh yang dipimpin oleh Kapten M.J.J.B.H. Campioni berkunjung ke Seunagan untuk menyaksikan langsung daerah rawan dan penuh ketegangan tersebut bersama dengan pasukannya, seperti Letnan Cristoffer, van Der Vlerk, van Der Zee, dan Brewer.

Setiap pergerakan pasukan Belanda yang akan memasuki wilayah Seunagan, selalui diintai dan diawasi oleh Pang Dolah dan Pang Brahim yang merupakan orang kepercayaan Teungku Putik untuk berjaga dikawasan perbatasan Seunagan dan Kaway XVI. Info yang didapat akan dikabarkan dengan menggunakan tanda alam serta bunyi-bunyian tambo (beduk) yang dipukul. Hal ini dilakukan agar pasukan Teungku Putik sudah bersiap-siap sebelum Belanda sampai.

Ketika pasukan Belanda telah memasuki kawasan antara Nigan dan Sapek yang berawa-rawa, tambo langsung dibunyikan. Pasukan yang telah bersembunyi dan bersiap-siap dengan semangat jihad yang dipimpin oleh Teungku Pulo Jakfar langsung melakukan penyerangan secara tiba-tiba dan membuat pasukan Belanda kacau balau, panik, tidak bisa berbuat apa-apa. Sehingga pada penyerangan tersebut Belanda kehilangan 60 orang pasukannya yang tewas dengan 20 orang luka parah termasuk Kapten Campioni yang kemudian meninggal dalam perjalanan laut menuju Kutaraja (Banda Aceh) lalu dikuburkan di pekuburan Peutjoet atau kerkhof.

Seorang pasukan Belanda H.C. Zentgraff menuliskan peristiwa tersebut sebagai berikut:
“Suatau kelalaian sang komandan telah membuat keuntungan bagi pihak lawan di dekat Gampong Sapek. Orang masih ingat akan pertempuran yang sangat menyedihkan itu. Setiap kesilapan di sini, harus dibayar dengan darah...ya...sebuah pembunuhan berkelewang ini yang dilakukan lawan dengan perasaan tidak takut mati...yang tak ada teranya itu kita dapati sebuah penyerbuan terhadap pasukan Compioni di tahun 1904, satu-satunya pertempuran berkelewang terbesar yang pernah dikenal dalam pertempuran di Aceh”.

Banyaknya serangan-serangan sporadis yang dilakukan oleh pasukan muslimin dan rakyat, membuat Belanda melakukan pengejaran terhadap pasukan muslimin di Seunagan. Pasukan yang dipimpin oleh Letnan Brewe ini melakukan pengejaran dengan tindakan yang kejam dengan mencurigai pemberontak kepada penduduk sipil. Selain itu, Belanda juga melakukan pendekatan dengan beberapa Uleebalang di Seunagan agar mau berdamai, dan hal tersebut dilakukan dengan cara menculik keluarga dari Teuku Keumangan.

Diculiknya keluarga dari Teuku Keumangan membuat Uleebalang Seunagan menyerah dan memilih berdamai dengan Belanda pada tahun 1906. Tindakan tersebut diambil agar dapat membebaskan keluarga dan melindungi masyarakat dari represivitas pasukan Belanda yang semakin kejam.

Menyerahnya Teuku Keumangan tidak menyurutkan Teungku Putik untuk terus berjuang, malah Teungku Putik memindahkan lokasi pertahanan dan persembunyian ke daerah pedalaman Krueng Tripa. Di daerah baru tersebut Teungku Putik beserta para pasukannya juga membuka lahan untuk bertani. Namun persembunyian baru tersebut juga diketahui oleh pasukan Belanda sehingga mereka langsung melakukan pengejaran ke daerah Krueng Tripa. 

Lagi-lagi untuk dapat mencapai daerah tersebut Belanda harus kehilangan 4 orang pasukannya yang tewas saat berhadapan dengan pasukan perang yang dipimpin oleh Pang Ali. Selain itu pasukan Belanda yang dipimpin oleh Letnan J.J. Donner juga hampir menjadi korban penikaman Keujreun Bacah apabila tidak langsung kabur yang telah mempermainkan dan membuat mereka lalai.

Pada tahun 1908, Teungku Putik menerima berita dari Teuku Keumangan bahwa Belanda akan melakukan serangan ke hulu Krueng Tripa. Teungku Putik memerintahkan pasukannya untuk mengatur siasat untuk bersembunyi memasuki kiri dan kanan hutan  di daerah antara Krueng Tripa dan Krueng Buloh. Tiba-tiba dengan teriakan Allahu Akbar pasukan Teungku Putik menyerang pasukan Belanda tampa rasa takut. Pasukan muslimin yang dipimpin oleh Teungku Putik terus bergerak maju dengan harapan memenangi pertempuran ataupun mati syahid demi agama dan mengharapkan keridhaan Allah.

Dari peperangan yang terjadi di hulu Krueng Tripa tersebut, pasukan muslimin berhasil meraih kemenangan. Belanda kehilangan 70 orang serdadu yang tewas, serta beberapa pasukan yang luka termasuk Kapten Lux. Sedangkan dipihak Teungku Putik kemengan ini juga harus dibayar mahal dengan kehilangan beberapa orang panglimanya, seperti Pang Brahim, Pang Sabi, Teungku Imeum Meukek, Keucik Abah, dan sepuluh pengikutnya serta Teungku Usman (Teungku Cut) anak kandungnya sendiri.

Setelah peperangan tersebut, Teungku Putik menyadari untuk menghentikan perjuanga secara kekerasan dengan menggunakan senjata. Beliau memilih untuk berjuang di tengah masyarakat umum untuk memperbaiki taraf kehidupan penyempurnaan dakwah, ibadah, serta ilmu pengetahuan agama. Supaya ibadah yang dilakukan masyarakat benar-benar sesuai dengan anjuran Allah Swt., dan Nabi Muhammad Saw. Hal ini juga berdasarkan pikiran dan dasar beberapa pertimbangan ajakan dari Teuku Keumangan untuk segera berdamai dengan Belanda dan bersama-sama membangun Seunagan di bidang keagamaan serta kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Mengingat Belanda yang semakin refresif dan melakukan kekerasan terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai pendukung kelompoknya. Apabila kondisi ini berlanjut, maka dikuatirkan kemungkinan generasi masa depan akan menjadi buta dalam pengetahuan agama dan tidak dapat menuntut ilmu ibadah serta pendidikan. Di sisi lain, pada tahun 1910 wilayah Seunagan dan pantai barat Aceh mulai berjangkit penyakit endemis cacar secara besar-besaran yang banyak menyerang penduduk serta pengikut Teungku Putik. Banyak dari mereka yang terserang penyakit tersebut meninggal dunia.

Pada tahun 1911, Teungku Putik bersama beberapa pasukannya turun gunung menuju Krueng Tripa untuk melakukan perdamaian dengan Belanda. Mayor Bekring selaku pimpinan Belanda wilayah Aceh Barat yang berkedudukan di Meulaboh memimpin upacara perdamaian tersebut dengan didampingi oleh Mayor Volumen yang bertugas di wilayah Selatan Aceh yang berkedudukan di Tapak Tuan beserta Teuku Ben Mahmud Blangpidie.

Perdamaian dengan Teungku Putik merupakan kesusksesan besar oleh Belanda sehingga beliau dibawa ke Kutaraja (Banda Aceh) untuk diberikan penghargaan dari Gubernur Militer Aceh yang dijabat oleh H.N.A. Swarth. Meskipun telah berdamai, Belanda tidak mempercayai Teungku Putik dengan mutlak mereka terus mengikuti gerak-gerik beliau. Sedangkan dilain pihak, Teuku Raja Tampok yang merupakan salah satu pengikut Teungku Putik memilih untuk terus melakukan perjuangan melawan Belanda. Baca Selanjutnya (Bagian 3/Habis) >>>>


Sumber:
muhammadsaifullah.com

Ketika Para Pakar Mengkaji Keberadaan Darud Dunia

Ketika Para Pakar Mengkaji Keberadaan Darud Dunia

Ilustrasi. @Doc. helloacehku.com
Dinas Kebudayaan Provinsi Aceh menggelar seminar kepurbakalaan bertajuk "Keraton Kesultanan Aceh "Darud Donya", di Hotel Hermes Palace, Banda Aceh, Kamis, 14 September 2017. Seminar yang dilaksanakan tertutup untuk umum tersebut menghadirkan beberapa pemateri, seperti Drs. Rusdi Sufi, Taqiyuddin Muhammad, Lc., Misri A. Muchsin, dan Yudi Andika.

Dalam seminar tersebut, beberapa pemateri mengupas bagaimana kebudayaan Aceh masa lalu sehingga dikenal mancanegara. Salah satunya Aceh adalah sebagai daerah penghasil emas terbanyak di Asia bersama Jepang. 

Rusdi Sufi dalam materinya menyebutkan, catatan mengenai Aceh juga banyak dicantumkan dalam naskah-naskah penjelajah asing. termasuk catatan tentang kondisi Dalam (penyebutan istana versi Aceh).

Sementara Taqiyuddin Muhammad dalam pemaparannya memperkuat pernyataan Rusdi Sufi mengenai jejak sejarah Aceh yang disampaikan dalam beberapa literatur. Di antara bukti jejak sejarah tersebut yang masih dapat ditemui saat ini adalah nisan dan Krueng Aceh. 

"Sungai Aceh itu landmark pada Aceh. Namanya juga Aceh River (Krueng Aceh)," kata Taqiyuddin.

Menyikapi hal tersebut lah, Taqiyuddin mengatakan, penumpukan sampah di muara Krueng Aceh itu tidak strategis. Menurutnya, persoalan muara sungai tersebut tidak sebatas permasalahan nisan saja, karena Krueng Aceh sendiri adalah bagian dari sejarah daerah ini.

Taqiyuddin juga mengatakan makna pentingnya menemukan kembali struktur Darud Dunia untuk ilmu pengetahuan generasi muda Aceh di masa mendatang. "Keraton Darud Dunia perlu ditemukan kembali. Sejumlah literatur sudah menyebutkan adanya Darud Dunia, adanya keraton sultan-sultan Aceh," ungkap Taqiyuddin.

Catatan mengenai keberadaan istana Aceh ini disebutkan dalam catatan perjalanan penjelajah asing, dokumen penting kerajaan, naskah-naskah, dan surat-surat diplomasi antar-Kerajaan Aceh dengan dunia internasional. Selain itu, keberadaan keraton Aceh juga tersebut dalam temuan benda-benda sejarah seperti di nisan dan lainnya.

Di sisi lain, Taqiyuddin juga berharap kajian-kajian mengenai sejarah Aceh tidak merujuk pada pemahaman budaya non-Islam. Hal ini disebabkan peradaban Aceh masa lalu sangat kental dengan keislaman. Artinya, menurut Taqiyuddin, semua hal yang dibangun di Aceh itu bersumber dari ajaran Islam. termasuk bagaimana mengatur tata ruang kota dengan ilmu fiqih.

"Akal yang mempelajari atau mengatur daerah ini, itu Islam. Jadi ini yang perlu dipelajari, warisan Islam, warisan fiqih, apakah itu ilmu warisannya, maupun persoalan kota-kota Islam, karena itu fiqih juga menunjukkan. Bagaimana jarak jalan, seberapa jarak jalan, itu ada dalam fiqih. Apakah masjid itu berapa jendelanya, itu diatur dalam fiqih," kata Taqiyuddin.

Begitu pula dengan pemahaman asimilasi budaya Aceh yang terpengaruh Hindu-Budha, terutama mengenai kenapa harus pusat kota berada di dekat sumber mata air atau sungai. Menurutnya, budaya membangun pusat peradaban dekat sumber mata air merupakan gagasan dalam kebudayaan Islam.

"Itu ide Islam. Kita nggak berbicara Hindu Budha di sini, walau pun kita perlu mempelajari pra sejarah, pra Islam. Jadi ketika kita memahami bagaimana itu Bandar Aceh Darussalam, jangan khianati orang-orang Aceh dahulu. Mereka baca Alquran, mereka menyalin mushaf, mereka mengaplikasi hidup mereka dalam ajaran Islam, kita jangan mengerti (memahami) mereka dengan pandangan orang lain. Kita harus mengerti (memahami) mereka dengan pandangan mereka sendiri. Bagaimana hidup mereka waktu itu, itu baru sejarah. Bukan (memahami sejarah) dengan interpretasi kita," kata lulusan Al Azhar, Kairo, tersebut.


Teungku Putik

Teungku Putik

Ilustrasi. @Doc. merdeka.com
1. Asal Usul Keturunan Teungku Putik
Teungku Putik merupakan seorang ulama kharismatik sekaligus pejuang pada masa kolonial yang berasal dari Nagan Raya atau yang dulunya dikenal daerah Seunagan. Teungku Putik anak dari seorang ulama bernama Teungku Abdurrasyid cucu dari Teungku Syekh Abdurrahim (Habib Nagan), dan cucu buyut dari Teungku Syekh Abdussalam.

Teungku Putik lahir di Cot Nigan daerah Seunagan pada tahun 1849. Besar di lingkungan masyarakat yang taat serta mencerminkan nilai-nilai keagamaan menjadikan watak dan kepribadian Teungku Putik teguh akan pendirian agama Islam sehingga kelak beliau juga berjuang melawan kolonial. Pada usia enam tahun Teungku Putik sudah lancar membaca Al Qur’an sehingga membuat Teungku Chik Di Killa tertarik dan membawanya untuk tinggal di dayah setelah kakeknya Teungku Syekh Abdurrahim (Habib Nagan) meninggal. Selama tiga tahun Teungku Putik tinggal di dayah dan beajar ilmu agama, pengetahuan, serta peperangan. Sejak saat itu Teungku Putik dikenal oleh masyarakat dengan pemuda yang memiliki ilmu agama dan pengtahuan serta diberi gelar “Teungku Putik”.

Teungku Putik merupakan sebutan atau gelar untuk seorang ulama yang masih muda. Teungku Putik berasal dari dua suku kata dalam bahasa Aceh, teungku berarti seseorang yang memiliki pengetahuan agama, dan putik yang berarti masih berusia sangat muda.

2. Jejak Perjuangan Teungku Putik
Setelah meninggalnya beberapa tokoh utama dari golongan ulama Seunagan, seperti Teungku Syekh Abdurrhim, Teungku Chik Di Killa, dan Teungku Abdurrasyid dakwah agama Islam di Seunagan dan Aceh Barat harus diteruskan oleh Teungku Putik yang pada saat itu masih berusia sangat muda. Di samping itu, beliau juga dipercaya oleh Uleebalang Seunagan untuk menjabat sebagai kadhi (hakim) untuk wilayah kenegerian Seunagan dan menikah dengan seorang putri dari Teuku Tuan di Nigan yang merupakan seorang saudagar lada. Sehingga selain berhasil melaksanakan dakwah Islam dengan mendirikan dayah, meuseujid (masjid), dan meunasah (madrasah), Teungku Putik juga berhasil untuk melanjutkan cita-cita mertuanya, yaitu memajukan pertanian dan perkebunan masyarakat.

Pada saat melaksanakan dakwah Islam, Teungku Putik sangat gigih berjuang menghapus dan memasukkan ajaran agama Islam ke dalam adat atau kebiasaan masyarakat. Selain itu, beliau menggerakkan masyarakat untuk meuseuraya (gotong-royong) dalam melakukan berbagai hal baik, seperti membangun masjid, irigasi (neulop), dan jalan-jalan. Selama melakukan pekerjaan sosial, bukan sedikit pengorbanan yang dikeluarkan Teungku Putik untuk pembangunan. Demikian pula karisma yang dimiliki telah membuat masyarakat mau menyumbang tenaga dan harta. Sehingga ketika perang Aceh menghadapi Belanda pecah pada tahun 1873, masyarakat juga ikut berjuang bersama Teungku Putik. Baca Selanjutnya (Bagian 2) >>>>
Back To Top