Profil Abdoel Moeis

Profil Abdoel Moeis

Foto Abdoel Moeis (Abdul Muis). @Doc. Pahlawan Center
Abdoel Moeis, tokoh pergerakan dan pahlawan nasional berdarah minang yang lahir pada 3 Juli 1883, tepatnya di Sungai Puar, Bukittinggi, Sumatera Barat. Tak banyak yang dapat diketahui sebelum Abdoel Moeis muda mengenyam pendidikan dasarnya pada sekolah Belanda tingkat persiapan Stovia di Bukittinggi untuk kemudian menuju Bandung dan tinggal lama di kota ini. Tak heran jika Bandung memiliki ikatan erat dengan tokoh yang satu ini, hingga lokasi sekitar terminal pusat kota Bandung kemudian disebut terminal Abdoel Moeis untuk menggantikan nama terminal Kebon Kalapa.

Sekitar tahun 1903-1905, Abdoel Moeis muda diterima bekerja di Departemen Pengajaran dan Keagamaan atas jasa Mr. Abendanon. Abdoel Moeis pernah ditempatkan di Bank Rakyat. Di sini, nalurinya terhadap kerakyatan mulai terpupuk. Abdoel Moeis geram melihat kasus pungutan liar yang dilakukan oleh lurah dan kaum priyayi rendahan pada orang-orang desa, dan pada akhirnya memutuskan keluar dari pekerjaan yang mapan tersebut.

Di sinilah karir Abdoel Moeis yang sesungguhnya dimulai. Mengawali karir sebagai korektor naskah yang masuk ke suratkabar berbahasa Belanda, Preangerbode. Nama Abdoel Moeis mulai dikenal banyak orang saat artikelnya yang banyak dimuat di harian De Express selalu mengecam tulisan orang-orang kolonialis Belanda. Setelah De Expres dilarang terbit akibat artikel keras Soewardi Soerjaningrat "Als Ik Ees Nederlander was" pada 1912, Moeis bekerja di suratkabar Kaoem Moeda, koran pertama yang mengenalkan rubrik "Pojok" sejak tahun 1913-an. Posisi Moeis sebagai redaktur serta mengurusi masalah-masalah penerbitan dan pemasaran, membuatnya lebih leluasa untuk melanjutkan perjuangan dengan pena sebagai senjata. Koran Kaoem Moeda ini menjadi tulang punggung perjuangan Sarekat Islam di Bandung. Selain itu, Abdoel Moeis juga masuk ke keredaksian Oetoesan Hindia, organ internal SI, pada 1915 serta tercatat pula sebagai redaktur di majalah Hindia Sarekat yang didirikannya bersama bersama Soewardi Soerjaningrat dan A.Widnjadisastra. 50 persen penghasilan dari majalah Hindia Sarekat itu dimasukan untuk kas Sarekat Islam, untuk membantu pergerakan.

8 September 1917, Moeis bergabung dengan Neratja sebagai pemimpin redaksi. Tulisan-tulisan Moeis yang radikal menjadi pemicu perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Pada setiap tulisannya, secara konsisten ia suarakan komitmennya terhadap perbaikan nasib pribumi. Moeis juga memimpin perusahaan periklanan NV Neratja yang terutama mengiklankan perusahaan-perusahaan gula. Neratja memang merupakan organ dari Suikersindicaat (asosiasi pabrik gula) Hindia Belanda.

Abdoel Moeis juga mulai berkenalan dengan tokoh-tokoh penting pergerakan yang berpengaruh, serta terjun pada organisasi Sarekat Islam sejak 1913. Nyaris sebagian besar masa mudanya ia baktikan untuk perjuangan bersama organisasi Islam ini, Dan mulai April 1914 hingga beberapa tahun setelahnya, Moeis dipercaya menjadi wakil ketua Central Sarekat Islam (CSI, pengurus pusat SI) mendampingi Tjokroaminoto. Sejak saat itu, dengan cepat Moeis menjelma menjadi sosok intelektual yang berpengaruh. Abdoel Moeis juga dekat dengan tokoh-tokoh pergerakan seperti Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, dan Soewardi Soeryaningrat. Keempatnya terlibat dalam Komite Boemi Poetra, yang menentang Peringatan 100 Tahun Kemerdekaan Belanda dari penjajahan Spanyol. Keempatnya menentang keras dan menolak dengan tegas karena Belanda akan merayakan kemerdekaan di tanah yang dijajahnya.

Abdoel Moeis dikenal sebagai pembela kepentingan rakyat kecil. Ia sering melakukan kunjungan ke berbagai daerah untuk membela kepentingan rakyat serta mengobarkan semangat pemudanya agar semakin giat berjuang meraih kemerdekaan. Kemerdekaan, selalu menjadi impian terbesar Moeis. Ia juga tak pernah sepakat dengan penamaan Hindia Belanda. Baginya, Hindia Belanda adalah sebuah hubungan dari Belanda atas Hindia yang didasari atas kepemilikan dan dominasi, dengan kata lain mendefinisikan daerah jajahan. Moeis lalu memberi makna politis dalam bentuk Hindia yang harus merdeka. Berikut sedikit dari cungkilan pemikiran Moeis,

"Selama bumiputera tanah Hindia belum mempunyai kebangsaan dan tanah air sejati, maka perasaan cinta tanah air dan bangsa itu harus dibangunkan dalam kalbu bumiputera. Selama bumiputera tanah Hindia belum mendapat kemerdekaan, maka lebih dahulu ia harus mempunyai sifat yang tersebut di atas. Segala pergerakan bumiputera haruslah berikhtiar membangunkan perasaan ini, karena dengan alasan itu saja suatu bangsa akan bernafsu memajukan negerinya, mengangkat derajat bangsanya."

Setelah meletus Perang Dunia I, pada tahun 1917 Abdoel Moeis mewakili Sarekat Islam dan lima orang lain yaitu Pangeran Ario Koesoemodiningrat (mewakili Prinsen Bond), Bupati Magelang Raden Tumenggung Danoe Soegondo mewakili Regenten Bond, Mas Ngabehi Dwidjosewojo mewakili Boedi Oetomo, F Laoh mewakili Perserikatan Minahasa, dan W.V Rhemrev diutus ke Belanda sebagai anggota Komite Indie Weerbaar guna membicarakan masalah pertahanan bagi bangsa Indonesia. Selain itu, ada seorang pendamping yaitu Dirk van Hinloopen Labberton, seorang tokoh pendukung Politik Etis.

Komite Indie Weerbaar adalah barisan pertahanan Hindia atau biasa dikenal dengan sebutan Milisi Indonesia yang merencanakan akan diberlakukannya semacam wajib militer bagi penduduk pribumi. Rencana ini mendapat reaksi keras dari anggota SI di Kota Semarang, namun begitu Abdoel Moeis tetap berangkat ke Belanda. Menurut Moeis, dengan masuknya rakyat ke dalam angkatan bersenjata akan mendorong terbentuknya laskar perjuangan yang lebih tangguh dan dapat dibanggakan di dalam sistem hirarki sosial.

Menjelang kepulangan ke Hindia Belanda, diadakan pesta besar yang diselenggarakan Jenderal Van Heutsz dan dihadiri oleh para tokoh terkemuka dari kalangan pemerintahan dan dunia usaha, yang kemudian menyepakati untuk mendirikan sekolah politeknik di Hindia. Menurut Dirk van Hinloopen Labberton, jika ada perang, bumiputera pertama tama mesti melindungi kepentingannya sendiri. Labberton juga menjelaskan bahwa tidak lama lagi oleh usaha pihak partikulir di Hindia, kira kira di Bandoeng, akan didirikan Technische Hooge School. Hal ini tentu seolah menjadi angin segar mengingat mendirikan Sekolah Teknik Tinggi di Hindia Belanda sebenarnya sudah menjadi pemikiran elite Bumiputera dan sementara pengusaha dan industriawan Belanda di Hindia sebelum 1917. Misalnya dalam Doenia Bergerak No. 18 (1914) sudah muncul tulisan berjudul "Pendapatan hal Techniche Hooge School di Hindia" Soewardi Soerjaningrat yang ketika itu (1917) masih di Nederland gencar sekali mendukung pendirian Sekolah Tinggi Teknik itu.

Sesampainya di Hindia Belanda, delegasi Indie Weerbaar, khususnya Abdoel Moeis berupaya melakukan negosiasi hingga disetujuinya pembentukan komisi untuk pendidikan teknik di Hindia oleh Ratu Belanda dan 14 pengusaha Belanda yang memberikan dukungan finansial penuh. Pada tahun 1920, sekolah yang diimpikan itu berdiri di Kota Bandung dengan nama Technische Hogeschool (THS). Menurut keterangan putrinya, Dr. Diana Moeis, ayahnya pernah bercerita bahwa lokasi THS yang sekarang disebut sebagai Intitut Teknologi Bandung itu usulan ayahnya. Pembangunan gedung THS juga tak lewat dari masukan dari Abdoel Moeis yang menginginkan agar ada unsur pribumi dalam bangunan tersebut.

Dalam karir politiknya, Abdoel Moeis pernah menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) bersama H.O.S Tjokroaminoto sebagai perwakilan dari SI. Di forum inilah Moeis dengan gencar mengecam penamaan Hindia Belanda untuk wilayah nusantara. Ia adalah salah satu penggagas lahirnya nama Indonesia. Keterlibatan Moeis dan Tjokroaminoto dalam Volksraad ini juga ditentang oleh Semaoen, Darsono, dan anggota SI Semarang lainnya. Sementara itu, Moeis dengan pemikiran modernnya berpikiran bahwa Volksraad adalah tempat yang tepat untuk menggerakkan harapan-harapan pemuda. Dengan Volksraad pula, suara bumiputera akan bisa lebih terakomodasi dalam rangka mewujudkan tujuan untuk membentuk pemerintahan sendiri bagi Hindia. Pertentangan di tubuh internal SI berlanjut dan semakin parah. Anggota SI Semarang yang digalang Semaoen, Darsono, dan Tan Malaka adalah anggota dengan karakter radikal, serta juga menjadi anggota Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) pimpinan Sneevliet yang adalah cikal-bakal partai beraliran komunis di Indonesia.

Menurut Soe Hok Gie di bukunya ‘Di Bawah Lentera Merah’, mengungkap tiga point penting yang menjadi pokok pangkal perseteruan keduanya antara kedua SI. Hal pertama mengenai agama. Kelompok Moeis menginginkan agar Islam diperkembangkan melalui partai, sedangkan Semaoen beranggapan cukup agama Islam itu tidak dibelakangkan dari agama lain di Indonesia. Hal kedua mengenai nasionalisme. Kelompok Moeis menolak pertuanan (penghambaan-pen) bangsa yang satu oleh bangsa lainnya, sementara kelompok Semaun menganggap perjuangan melawan kapitalisme adalah yang paling utama. Hal ketiga adalah sikap terhadap kapitalisme. Keduanya sepakat: untuk memperoleh kemerdekaan diperlukan dana perjuangan. Bagi kelompok Moeis modal boleh dimiliki oleh individu orang Indonesia. Sementara bagi kelompok Semaoen modal harus dikumpulkan pada badan-badan koperasi.

Dalam salah satu bentuk penyadaran nasionalisme bumiputera, Abdoel Moeis berkata:

"Yang menjadi tujuan daripada perhimpunan kaum pribumi itu adalah memperbaiki nasib kaum bumiputera. Sedangkan bila ia melihat lebih jauh maka tidak dapat tidak akan nampak bahwa perhimpunan-perhimpunan tersebut hanya satu tujuannya, yaitu kemerdekaan Hindia."

Dalam sambutannya di Kongres Nasional SI Kedua, Bandung 20-27 Oktober 1917, Abdoel Moeis melanjutkan gagasannya, "Putera-puteri Hindia tetap mengarahkan pandangannya kepada tujuan yang telah mereka idam-idamkan: melepaskan diri dari belenggu yang mengikat mereka."

"Yang pertama-tama harus kita miliki untuk usaha yang sukar dan berbahaya ini adalah rasa Kebangsaan, yaitu cinta kepada negara dan sesama bangsa kita. Bila kita renungkan betapa buruknya nasib negara dan sesama bangsa kita yang beratus-ratus tahun terbelenggu oleh orang-orang asing, serasa berdebarlah hati kita, berdiri bulu roma, dan kita merasa kasihan kepada negara dan sesama bangsa kita."

Di akhir orasinya, Moeis lagi-lagi menegaskan pentingnya menumbuhkan cinta tanah air serta menekankan perlunya merapatkan barisan dan menghemat energi untuk kepentingan-kepentingan dalam negeri terlebih dahulu, meski juga mesti tanpa mengesampingkan perkembangan global. "Untuk memperbaiki rumah tangga seluruh dunia tidak usah kita terlebih dahulu menjadi kaum internasionalis."

Selain berjuang bersama Sarekat Islam dan rutin menulis di Koran Kaoem Moeda, Abdoel Moeis dikenal piawai dalam mempengaruhi massa. 11 Januari 1922, Moeis memimpin pemogokan buruh di Yogyakarta sebagai reaksi atas pemecatan pekerja pribumi secara sepihak oleh pemerintah. Saat itu, Moeis menjabat sebagai ketua Perserikatan Pegawai Pegadaian Boemiputera (PPPB). Aksi mogok ini dengan cepat meluas hingga luar Yogyakarta dan dalam waktu 2 minggu, sekitar 1.000 orang buruh pegadaian Karesidenan Cirebon, Kedu, Pekalongan, Semarang, Rembang, Kediri, serta Surabaya mengadakan aksi mogok kerja secara massal.

Pemogokan besar-besaran ini membuat pemerintah kolonial kelabakan dan mengajukan perundingan. Moeis pemecatan buruh dibatalkan dan meminta pemerintah membentuk komite penyelidik ketidakpuasan para buruh pegadaian. Sayangnya, tuntutan Moeis tak digubris pemerintah sehingga membuat Moeis geram dan menggalang pemogokan dengan massa yang lebih besar. Pemogokan pekerja pribumi menurut Abdoel Moeis adalah sebuah bentuk perjuangan nasional. Sebagai akibat pembangkangannya pada pemerintah kolonial, pada 8 Februari 1922 Moeis ditangkap dan diasingkan ke Garut. Pengasingan ini membuatnya tak lagi bisa bergabung bersama rekan seperjuangannya, dan akhirnya memutuskan menjadi petani. Paska kemerdekaan, ternyata Belanda tak meninggalkan Hindia begitu saja dan melancarkan agresi militer. Moeis yang saat itu berada di pengasingan, memutuskan untuk membentuk Persatuan Perjuangan Priangan, suatu persatuan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan. Laskar perjuangan ini ia pimpin dengan segenap hati sebagai pengabdian pamungkasnya terhadap Republik Indonesia hingga akhirnya menutup usia di kota Bandung pada 17 Juni 1959. Perjuangan Abdoel Moeis diakui pemerintah sehingga dikukuhkan menjadi Pahlawan Nasional yang pertama oleh Presiden RI, Soekarno, pada 30 Agustus 1959. Sebagai penghormatan, Moeis dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung.

Selain populer sebagai aktivis pergerakan, pejuang intelektual, juga pegiat pers perjuangan, Abdoel Moeis juga terkenal sebagai sastrawan hebat Indonesia. Salah satu karyanya yang legendaris adalah novel "Salah Asuhan". Novel yang terbit pada tahun 1928 ini, difilmkan oleh Asrul Sani pada tahun 1972, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Robin Susanto dan diterbitkan dengan judul Never the Twain oleh Lontar Foundation sebagai salah satu seri Modern Library of Indonesia, dan masih sering menjadi referensi sastra hingga kini. Karya Abdoel Moeis lainnya adalah Pertemuan Jodoh (novel, 1933), Surapati (novel, 1950), dan Robert Anak Surapati(novel, 1953), serta beberapa terjemahan, antara lain; Don Kisot (karya Cerpantes, 1923), Tom Sawyer Anak Amerika (karya Mark Twain, 1928), Sebatang Kara (karya Hector Melot, 1932), Tanah Airku (karya C. Swaan Koopman, 1950).


Sumber:
Merdeka. Tidak Ada Tahun. Profil: Abdoel Moeis. (Online). (diakses, 5 November 2017).

Teungku Putik (Bagian 3/Habis)

Teungku Putik (Bagian 3/Habis)

Ilustrasi. @Doc. merdeka.com
4. Akhir Resistensi
Pasca perdamaian tersebut, Teungku Putik kembali mengaktifkan lembaga pendidikan agama beserta meuseujid dan meunasah sebagai pengajian di Nigan yang lama tidak dimanfaatkan lagi. Kegiatan-kegiatan sosial yang pernah dilakukan dahulu kini kembali dijalankan oleh Teungku Putik dengan bantuan Belanda untuk kemakmuran kehidupan masyarakat di perkampungan. Pada tahun 1916, beliau kembali ke Seunagan untuk melanjutkan pembangunan baik di bidang agama maupun sosial ekonomi. Sehingga Teungku Putik mengangkat wakilnya di Seunagan, seperti Teungku Abdullah di Gampong Seumayam, Teungku Muhammad Arifin di Gampong Panton Limeing, dan Teungku Gadong di Gampong Tripa.

Masih ragunya Belanda dengan penyerahan diri atau perdamaian Teungku Putik terjadi pada saat terjadi percobaan pembunuhan terhadap Kolonel G.F.V. Gesenson di Gampong Suak Bilie pada tahun 1917 oleh tiga orang pemuda. Belanda menggap bahwa ketiga pemuda tersebut pernah menjadi pengikut dari Teungku Putik, sehingga Belanda melalui asisten Resident West Koest van Atjeh yang dijabat Kolonel Schmitd menangkap beliau. 

Pada penangkapan tersebut Kolonel Schmitd mengatakan bahwa beliau diundang Mayor Bekring ke Meulaboh karena ada sesuatu keperluan untuk dibicarakan. Sejak saat itu Teungku Putih tidak lagi terdengar kabar, para keluarga dan pengikutnya hanya ditinggalkan bertanya-tanya. Namun sebelum ditangkap, beliau telah menitipkan pesan kepada Teuku Raja Tampok bahwa bilau akan ditangkap dan tidak mungkin kembali lagi ke kemari (Seunagan).

Pada tahun 1920, pihak keluarga menerima sepucuk surat daru Teungku Putik yang isinya sebagai berikut:
“Kami sekarang berada di tengah-tengah masyarakat Banyumas, dan dibebaskan bergerak dalam bidang keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Tetapi berpegang tegulah kepada jalan Allah Swt., dan hanya kepada-Nya kita semua akan kembali, oleh karenanya beramal shalih dan berjihadlah, semata-mata karena Allah, jangan dipercayai oleh syaitan. Surat ini jangan dibalas karena membahayakan kehidupan kita”.

Surat tersebut dibawa oleh pejuang dari Seunagan yang telah dikembalikan ke masyarakat. Beliau pernah bertemu dengan Teungku Putik di Banyumas.

Menurut beberapa sumber yang pernah berkunjung ke Banyumas, disebutkan pada tahun 1933, Teungku Putik meninggal dunia pada usia 85 tahun. Beliau dimakamkan di sebuah perbukitan di Kabupaten Banyumas bekas Keresidenan Kedu di Jawa Tengah.


Sumber:
muhammadsaifullah.com

Teungku Putik (Bagian 2)

Teungku Putik (Bagian 2)

Ilustrasi. @Doc. merdeka.com
3. Resistensi Terhadap Belanda
Perlawanan-perlawanan yang terjadi di Nagan Raya (Seunagan) merupakan bagian dari perjuangan rakyat Aceh dalam menentang Belanda. Pasukan yang dipimpin oleh Teungku Putik menghimpun suatu barisan jihad dengan 200 orang anggota pasukan muslimin yang dibagi ke dalam enam kelompok untuk mencegah serta membendung serangan yang diluncurkan oleh marsose Belanda. Dengan memanfaatkan alam sebagai benteng pertahanan, pasukan Teungku Putik menggunakan teknik gerilya untuk menyerang dan menyergap Belanda. Dalam melakukan gerilyanya, pasukan Teungku Putik dan Teungku Kapa yang merupakan santri sekaligus panglima pasukan berhasil menyergap pasukan marsose Belanda di Gunong Buloh, Keude Neulop, Pulo Ie, Paya Udeung, Cot Meugat, Reudep, dan Rambong Cut dengan hanya bersenjatakan pedang (peudeung) dan kelewang (reudeuh).

Pada tahun 1902, pasukan Belanda yang dipimpin oleh Letnan Brewer menyerang Jeuram yang merupakan tempat pertahanan dan berkumpulnya masyarakat Seunagan. Pasukan Teungku Putik yang dibantu Uleebalang Tueku Keumangan dan panglimanya Pang Bacah beserta masyarakat berhasil memukul mudur pasukan Belanda ke Pulo Ie. Pada serangan tersebut membuat Belanda harus kehilangan 15 orang pasukannya yang tewas dan 10 orang luka-luka, sedangkan dipihak muslim Seunagan 8 orang tewas dan 10 orang luka-luka ringan. Sejak saat itu Belanda terus menerus melakukan serangan ke Jeuram hingga membuat pasukan Teungku Putik terpaksa mundur ke Paya Udeung.

Setelah merebut Jeuram, Belanda kemudian membangun benteng di daerah tersebut seluas 300 meter. Meskipun telah membangun pertahanan yang tangguh namun gigihnya pasukan gerilya yang dipimpin oleh Teungku Putik membuat Belanda tidak henti-hentinya melakukan pengejaran, baik itu penyergapan bahkan pemberian hadiah kepada orang-orang yang mampu menangkapnya. Namun seakan semua itu sia-sia, hal ini disebabkan masyarakat yang tidak berani berkhianat karena rasa cinta, segan, dan hormat kepada Teungku Putik yang dianggap juru penyelamat.

Direbutnya Jeuram oleh Belanda, Teungku Putik dan Teuku Keumangan memindahkan lokasi pertemuan ke daerah Sapek. Di situ, pasukan Teungku Putik juga mendirikan sebuah masjid yang bertujuan untuk  pembinaan sekaligus untuk terus mengindoktrinasi perang sabil kepada anggota-anggota serta masyarakat yang ada di gampong tersebut setiap saat pengajian dan perjumpaan lainnya. Ketenangan pertahanan di daerah Sapek tidak berlangsung lama, sebab tempat tersebut telah diketahui dan Belanda beserta pasukan mencoba melakukan penyerangan ke daerah tersebut.

Sulitnya medan yang harus dilalui pasukan Belanda menuju Sapek menjadi sebuah keuntungan tersendiri bagi pasukan Teungku Putik untuk melakukan serangan dan penyergapan. Hal ini dikarenakan jalan-jalan menuju daerah tersebut masih penuh dengan hutan lebat yang berlumpur serta berawa dan keadaan ini menjadi benteng bagi pasukan Teungku Putik. Sulitnya melumpuhkan pasukan Teungku Putik dengan pertahanan benteng alamnya membuat Pemerintahan Belanda di Meulaboh yang dipimpin oleh Kapten M.J.J.B.H. Campioni berkunjung ke Seunagan untuk menyaksikan langsung daerah rawan dan penuh ketegangan tersebut bersama dengan pasukannya, seperti Letnan Cristoffer, van Der Vlerk, van Der Zee, dan Brewer.

Setiap pergerakan pasukan Belanda yang akan memasuki wilayah Seunagan, selalui diintai dan diawasi oleh Pang Dolah dan Pang Brahim yang merupakan orang kepercayaan Teungku Putik untuk berjaga dikawasan perbatasan Seunagan dan Kaway XVI. Info yang didapat akan dikabarkan dengan menggunakan tanda alam serta bunyi-bunyian tambo (beduk) yang dipukul. Hal ini dilakukan agar pasukan Teungku Putik sudah bersiap-siap sebelum Belanda sampai.

Ketika pasukan Belanda telah memasuki kawasan antara Nigan dan Sapek yang berawa-rawa, tambo langsung dibunyikan. Pasukan yang telah bersembunyi dan bersiap-siap dengan semangat jihad yang dipimpin oleh Teungku Pulo Jakfar langsung melakukan penyerangan secara tiba-tiba dan membuat pasukan Belanda kacau balau, panik, tidak bisa berbuat apa-apa. Sehingga pada penyerangan tersebut Belanda kehilangan 60 orang pasukannya yang tewas dengan 20 orang luka parah termasuk Kapten Campioni yang kemudian meninggal dalam perjalanan laut menuju Kutaraja (Banda Aceh) lalu dikuburkan di pekuburan Peutjoet atau kerkhof.

Seorang pasukan Belanda H.C. Zentgraff menuliskan peristiwa tersebut sebagai berikut:
“Suatau kelalaian sang komandan telah membuat keuntungan bagi pihak lawan di dekat Gampong Sapek. Orang masih ingat akan pertempuran yang sangat menyedihkan itu. Setiap kesilapan di sini, harus dibayar dengan darah...ya...sebuah pembunuhan berkelewang ini yang dilakukan lawan dengan perasaan tidak takut mati...yang tak ada teranya itu kita dapati sebuah penyerbuan terhadap pasukan Compioni di tahun 1904, satu-satunya pertempuran berkelewang terbesar yang pernah dikenal dalam pertempuran di Aceh”.

Banyaknya serangan-serangan sporadis yang dilakukan oleh pasukan muslimin dan rakyat, membuat Belanda melakukan pengejaran terhadap pasukan muslimin di Seunagan. Pasukan yang dipimpin oleh Letnan Brewe ini melakukan pengejaran dengan tindakan yang kejam dengan mencurigai pemberontak kepada penduduk sipil. Selain itu, Belanda juga melakukan pendekatan dengan beberapa Uleebalang di Seunagan agar mau berdamai, dan hal tersebut dilakukan dengan cara menculik keluarga dari Teuku Keumangan.

Diculiknya keluarga dari Teuku Keumangan membuat Uleebalang Seunagan menyerah dan memilih berdamai dengan Belanda pada tahun 1906. Tindakan tersebut diambil agar dapat membebaskan keluarga dan melindungi masyarakat dari represivitas pasukan Belanda yang semakin kejam.

Menyerahnya Teuku Keumangan tidak menyurutkan Teungku Putik untuk terus berjuang, malah Teungku Putik memindahkan lokasi pertahanan dan persembunyian ke daerah pedalaman Krueng Tripa. Di daerah baru tersebut Teungku Putik beserta para pasukannya juga membuka lahan untuk bertani. Namun persembunyian baru tersebut juga diketahui oleh pasukan Belanda sehingga mereka langsung melakukan pengejaran ke daerah Krueng Tripa. 

Lagi-lagi untuk dapat mencapai daerah tersebut Belanda harus kehilangan 4 orang pasukannya yang tewas saat berhadapan dengan pasukan perang yang dipimpin oleh Pang Ali. Selain itu pasukan Belanda yang dipimpin oleh Letnan J.J. Donner juga hampir menjadi korban penikaman Keujreun Bacah apabila tidak langsung kabur yang telah mempermainkan dan membuat mereka lalai.

Pada tahun 1908, Teungku Putik menerima berita dari Teuku Keumangan bahwa Belanda akan melakukan serangan ke hulu Krueng Tripa. Teungku Putik memerintahkan pasukannya untuk mengatur siasat untuk bersembunyi memasuki kiri dan kanan hutan  di daerah antara Krueng Tripa dan Krueng Buloh. Tiba-tiba dengan teriakan Allahu Akbar pasukan Teungku Putik menyerang pasukan Belanda tampa rasa takut. Pasukan muslimin yang dipimpin oleh Teungku Putik terus bergerak maju dengan harapan memenangi pertempuran ataupun mati syahid demi agama dan mengharapkan keridhaan Allah.

Dari peperangan yang terjadi di hulu Krueng Tripa tersebut, pasukan muslimin berhasil meraih kemenangan. Belanda kehilangan 70 orang serdadu yang tewas, serta beberapa pasukan yang luka termasuk Kapten Lux. Sedangkan dipihak Teungku Putik kemengan ini juga harus dibayar mahal dengan kehilangan beberapa orang panglimanya, seperti Pang Brahim, Pang Sabi, Teungku Imeum Meukek, Keucik Abah, dan sepuluh pengikutnya serta Teungku Usman (Teungku Cut) anak kandungnya sendiri.

Setelah peperangan tersebut, Teungku Putik menyadari untuk menghentikan perjuanga secara kekerasan dengan menggunakan senjata. Beliau memilih untuk berjuang di tengah masyarakat umum untuk memperbaiki taraf kehidupan penyempurnaan dakwah, ibadah, serta ilmu pengetahuan agama. Supaya ibadah yang dilakukan masyarakat benar-benar sesuai dengan anjuran Allah Swt., dan Nabi Muhammad Saw. Hal ini juga berdasarkan pikiran dan dasar beberapa pertimbangan ajakan dari Teuku Keumangan untuk segera berdamai dengan Belanda dan bersama-sama membangun Seunagan di bidang keagamaan serta kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Mengingat Belanda yang semakin refresif dan melakukan kekerasan terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai pendukung kelompoknya. Apabila kondisi ini berlanjut, maka dikuatirkan kemungkinan generasi masa depan akan menjadi buta dalam pengetahuan agama dan tidak dapat menuntut ilmu ibadah serta pendidikan. Di sisi lain, pada tahun 1910 wilayah Seunagan dan pantai barat Aceh mulai berjangkit penyakit endemis cacar secara besar-besaran yang banyak menyerang penduduk serta pengikut Teungku Putik. Banyak dari mereka yang terserang penyakit tersebut meninggal dunia.

Pada tahun 1911, Teungku Putik bersama beberapa pasukannya turun gunung menuju Krueng Tripa untuk melakukan perdamaian dengan Belanda. Mayor Bekring selaku pimpinan Belanda wilayah Aceh Barat yang berkedudukan di Meulaboh memimpin upacara perdamaian tersebut dengan didampingi oleh Mayor Volumen yang bertugas di wilayah Selatan Aceh yang berkedudukan di Tapak Tuan beserta Teuku Ben Mahmud Blangpidie.

Perdamaian dengan Teungku Putik merupakan kesusksesan besar oleh Belanda sehingga beliau dibawa ke Kutaraja (Banda Aceh) untuk diberikan penghargaan dari Gubernur Militer Aceh yang dijabat oleh H.N.A. Swarth. Meskipun telah berdamai, Belanda tidak mempercayai Teungku Putik dengan mutlak mereka terus mengikuti gerak-gerik beliau. Sedangkan dilain pihak, Teuku Raja Tampok yang merupakan salah satu pengikut Teungku Putik memilih untuk terus melakukan perjuangan melawan Belanda. Baca Selanjutnya (Bagian 3/Habis) >>>>


Sumber:
muhammadsaifullah.com

Ketika Para Pakar Mengkaji Keberadaan Darud Dunia

Ketika Para Pakar Mengkaji Keberadaan Darud Dunia

Ilustrasi. @Doc. helloacehku.com
Dinas Kebudayaan Provinsi Aceh menggelar seminar kepurbakalaan bertajuk "Keraton Kesultanan Aceh "Darud Donya", di Hotel Hermes Palace, Banda Aceh, Kamis, 14 September 2017. Seminar yang dilaksanakan tertutup untuk umum tersebut menghadirkan beberapa pemateri, seperti Drs. Rusdi Sufi, Taqiyuddin Muhammad, Lc., Misri A. Muchsin, dan Yudi Andika.

Dalam seminar tersebut, beberapa pemateri mengupas bagaimana kebudayaan Aceh masa lalu sehingga dikenal mancanegara. Salah satunya Aceh adalah sebagai daerah penghasil emas terbanyak di Asia bersama Jepang. 

Rusdi Sufi dalam materinya menyebutkan, catatan mengenai Aceh juga banyak dicantumkan dalam naskah-naskah penjelajah asing. termasuk catatan tentang kondisi Dalam (penyebutan istana versi Aceh).

Sementara Taqiyuddin Muhammad dalam pemaparannya memperkuat pernyataan Rusdi Sufi mengenai jejak sejarah Aceh yang disampaikan dalam beberapa literatur. Di antara bukti jejak sejarah tersebut yang masih dapat ditemui saat ini adalah nisan dan Krueng Aceh. 

"Sungai Aceh itu landmark pada Aceh. Namanya juga Aceh River (Krueng Aceh)," kata Taqiyuddin.

Menyikapi hal tersebut lah, Taqiyuddin mengatakan, penumpukan sampah di muara Krueng Aceh itu tidak strategis. Menurutnya, persoalan muara sungai tersebut tidak sebatas permasalahan nisan saja, karena Krueng Aceh sendiri adalah bagian dari sejarah daerah ini.

Taqiyuddin juga mengatakan makna pentingnya menemukan kembali struktur Darud Dunia untuk ilmu pengetahuan generasi muda Aceh di masa mendatang. "Keraton Darud Dunia perlu ditemukan kembali. Sejumlah literatur sudah menyebutkan adanya Darud Dunia, adanya keraton sultan-sultan Aceh," ungkap Taqiyuddin.

Catatan mengenai keberadaan istana Aceh ini disebutkan dalam catatan perjalanan penjelajah asing, dokumen penting kerajaan, naskah-naskah, dan surat-surat diplomasi antar-Kerajaan Aceh dengan dunia internasional. Selain itu, keberadaan keraton Aceh juga tersebut dalam temuan benda-benda sejarah seperti di nisan dan lainnya.

Di sisi lain, Taqiyuddin juga berharap kajian-kajian mengenai sejarah Aceh tidak merujuk pada pemahaman budaya non-Islam. Hal ini disebabkan peradaban Aceh masa lalu sangat kental dengan keislaman. Artinya, menurut Taqiyuddin, semua hal yang dibangun di Aceh itu bersumber dari ajaran Islam. termasuk bagaimana mengatur tata ruang kota dengan ilmu fiqih.

"Akal yang mempelajari atau mengatur daerah ini, itu Islam. Jadi ini yang perlu dipelajari, warisan Islam, warisan fiqih, apakah itu ilmu warisannya, maupun persoalan kota-kota Islam, karena itu fiqih juga menunjukkan. Bagaimana jarak jalan, seberapa jarak jalan, itu ada dalam fiqih. Apakah masjid itu berapa jendelanya, itu diatur dalam fiqih," kata Taqiyuddin.

Begitu pula dengan pemahaman asimilasi budaya Aceh yang terpengaruh Hindu-Budha, terutama mengenai kenapa harus pusat kota berada di dekat sumber mata air atau sungai. Menurutnya, budaya membangun pusat peradaban dekat sumber mata air merupakan gagasan dalam kebudayaan Islam.

"Itu ide Islam. Kita nggak berbicara Hindu Budha di sini, walau pun kita perlu mempelajari pra sejarah, pra Islam. Jadi ketika kita memahami bagaimana itu Bandar Aceh Darussalam, jangan khianati orang-orang Aceh dahulu. Mereka baca Alquran, mereka menyalin mushaf, mereka mengaplikasi hidup mereka dalam ajaran Islam, kita jangan mengerti (memahami) mereka dengan pandangan orang lain. Kita harus mengerti (memahami) mereka dengan pandangan mereka sendiri. Bagaimana hidup mereka waktu itu, itu baru sejarah. Bukan (memahami sejarah) dengan interpretasi kita," kata lulusan Al Azhar, Kairo, tersebut.


Teungku Putik

Teungku Putik

Ilustrasi. @Doc. merdeka.com
1. Asal Usul Keturunan Teungku Putik
Teungku Putik merupakan seorang ulama kharismatik sekaligus pejuang pada masa kolonial yang berasal dari Nagan Raya atau yang dulunya dikenal daerah Seunagan. Teungku Putik anak dari seorang ulama bernama Teungku Abdurrasyid cucu dari Teungku Syekh Abdurrahim (Habib Nagan), dan cucu buyut dari Teungku Syekh Abdussalam.

Teungku Putik lahir di Cot Nigan daerah Seunagan pada tahun 1849. Besar di lingkungan masyarakat yang taat serta mencerminkan nilai-nilai keagamaan menjadikan watak dan kepribadian Teungku Putik teguh akan pendirian agama Islam sehingga kelak beliau juga berjuang melawan kolonial. Pada usia enam tahun Teungku Putik sudah lancar membaca Al Qur’an sehingga membuat Teungku Chik Di Killa tertarik dan membawanya untuk tinggal di dayah setelah kakeknya Teungku Syekh Abdurrahim (Habib Nagan) meninggal. Selama tiga tahun Teungku Putik tinggal di dayah dan beajar ilmu agama, pengetahuan, serta peperangan. Sejak saat itu Teungku Putik dikenal oleh masyarakat dengan pemuda yang memiliki ilmu agama dan pengtahuan serta diberi gelar “Teungku Putik”.

Teungku Putik merupakan sebutan atau gelar untuk seorang ulama yang masih muda. Teungku Putik berasal dari dua suku kata dalam bahasa Aceh, teungku berarti seseorang yang memiliki pengetahuan agama, dan putik yang berarti masih berusia sangat muda.

2. Jejak Perjuangan Teungku Putik
Setelah meninggalnya beberapa tokoh utama dari golongan ulama Seunagan, seperti Teungku Syekh Abdurrhim, Teungku Chik Di Killa, dan Teungku Abdurrasyid dakwah agama Islam di Seunagan dan Aceh Barat harus diteruskan oleh Teungku Putik yang pada saat itu masih berusia sangat muda. Di samping itu, beliau juga dipercaya oleh Uleebalang Seunagan untuk menjabat sebagai kadhi (hakim) untuk wilayah kenegerian Seunagan dan menikah dengan seorang putri dari Teuku Tuan di Nigan yang merupakan seorang saudagar lada. Sehingga selain berhasil melaksanakan dakwah Islam dengan mendirikan dayah, meuseujid (masjid), dan meunasah (madrasah), Teungku Putik juga berhasil untuk melanjutkan cita-cita mertuanya, yaitu memajukan pertanian dan perkebunan masyarakat.

Pada saat melaksanakan dakwah Islam, Teungku Putik sangat gigih berjuang menghapus dan memasukkan ajaran agama Islam ke dalam adat atau kebiasaan masyarakat. Selain itu, beliau menggerakkan masyarakat untuk meuseuraya (gotong-royong) dalam melakukan berbagai hal baik, seperti membangun masjid, irigasi (neulop), dan jalan-jalan. Selama melakukan pekerjaan sosial, bukan sedikit pengorbanan yang dikeluarkan Teungku Putik untuk pembangunan. Demikian pula karisma yang dimiliki telah membuat masyarakat mau menyumbang tenaga dan harta. Sehingga ketika perang Aceh menghadapi Belanda pecah pada tahun 1873, masyarakat juga ikut berjuang bersama Teungku Putik. Baca Selanjutnya (Bagian 2) >>>>

Sarekat Islam (SI)

 Sarekat Islam (SI)

Gambar Lambang Serikat Islam (SI) (Doc. Google)
Sarekat Islam dapat dipandang sebagai salah satu gerakan politik yang menonjol sebelum Perang Duni II. Layak kiranya jika organisasi ini perlu mendapat sorotan sendiri karena ia mengalami perkembangan yang cepat dan dinamis. Cepatnya perkembangan juga membawa cepatnya kemunduran yang hanya beberapa tahun setelah puncaknya. Berkurangnya pengaruh organisasi dan timbulnya pertentangan intern menyebabkan mengendurnya simpati masa (Korver, 1982:1).

Sarekat Islam didirikan pada tahun 1912 oleh H. Samanhudi, seorang pengusaha batik di Kampung Lawean, Solo yang mempunyai banyak pekerja. Perusahaan batik lainnya ada di tangan orang Cina dan Arab, dan mereka memproduksi batik dalam partai besar, sedangkan di sekitar perusahaan besar itu terdapat perajin kecil yang dilakukan di rumah-rumah penduduk dengan membatik dan membuat batik cap yang mulai populer pada waktu itu. Penasihat Urusan Bumiputra, Rinkers mengatakan bahwa ketika terjadinya bentrokan dengan polisi seorang Cina terbunuh. Akibatnya di Surabaya terjadi pemogokan para pedagang Cina yang melumpuhkan ekonomi. Ia menghubungkan peristiwa ini dengan kejadian di Surakarta karena di tempat itu terjadi persaingan antara pedagang Lawean dengan firma Sie Dian Ho, berdagang buku, alat kantor, dan bahan batik. Pemboikotan terhadap firma ini melahirkan Sarekat Islam (van der Xal, 1967:86-87).

Selanjutnya Korver berpendapat bahwa sudah sejak lama di Solo berdiri perkumpulan Cina-Jawa yang bernama Kong Sing. Anggotanya pengusaha Cina dan Jawa, termasuk H. Samanhudi. Pada tahun 1911, ketika terjadi revolusi di Cina terjadilah sikap yang merenggangkan hubungan mereka dengan orang Jawa. Hal ini juga merenggangkan hubungan sesama anggota Kong Sing sehingga anggota Kong Sing Jawa mendirikan Rekso Rumekso yang kemudian menjadi Sarekat Islam (Korver, 1982:21).

Jelas kiranya bahwa tujuan utama Sarekat Islam adalah menghidupkan kegiatan ekonomi pedagang Islam Jawa, yang diikat dengan agama. Meskipun dari salah satu sumber disebutkan bahwa tidak ada persaingan antara pedagang Cina dan Jawa, sebenarnya hal ini tidak akan mungkin tidak terjadi di dunia perdagangan. Perubahan tingkah laku dan arogansi merenggangkan hubungan sosial mereka. Keadaan seperti ini memperkuat dan mendorong mereka untuk menyatukan diri menghadapi pedagang Cina. Agama Islam digunakan dan faktor pengikat dan penyatu kekuatan pedagang Islam.

Tujuan utama Sarekat Islam untuk mengembangkan perekonomian berkali-kali ditekankan oleh pemimpin Sarekat Islam terkemuka, yaitu Umar Said Cokroaminoto. Ia adalah seorang orator yang cakap dan bijak, mampu memikat anggotanya. Dalam pidatonya pada rapat raksasa di Kebun Binatang Surabaya tanggal 26 Januari 1913, ia menegaskan bahwa tujuan Sarekat Islam adalah menghidupkan jiwa dagang Bangsa Indonesia, memperkuat ekonominya agar mampu bersaing dengan bangsa asing. Usaha di bidang ekonomi tampak sekali, khususnya dengan berdirinya koperasi di Kota Surabaya. Di kota itu pula berdiri PT. Setia Usaha, selain menerbitkan surat kabar Utusan Hindia, juga menyelenggarakan penggilingan padi, dan juga mendirikan bank. Usaha itu semua dimaksud untuk membebaskan kehidupan ekonomi dari ketergantungan bangsa asing (Sartono Kartodirjo, LS, 2, 1968:65).

Usaha meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa sendiri diterima dengan antusias oleh masyarakat lapisan bawah. Wong Cilik (masyarakat kecil) mendapat kesempatan untuk memperbaiki kehidupan yang sudah lama dinant-nantikan. Tidak salah kiranya jika Sarekat Islam mampu membaca keingan Wong Cilik yang menginginkan perbaikan upah kerja, sewa menyewa tanah, masalah-masalah yang berlaku di tanah partikelir, dan juga tingkah laku yang menyakitkan hati yang dilakukan para mandor dan kepala-kepala pribumi. Hal inilah yang merupakan kenyataan sebagai penderitaan rakyat yang harus diperbaiki. Maka tidak mengherankan kalau Sarekat Islam menjadi populer di kalangan rakyat bawah. Sarekat Islam segera meluas ke seluruh Jawa. Pada saat itu Cabang Jakarta mempunyai anggota 12.000 orang. Dalam rapat raksasa di Surabaya jumlah angggota bertambah menjadi 90.000 orang, terdiri dari 30.000 orang dari Cabang Solo, 16.000 dari Surabaya, 25.000 dari Jakarta, 23.000 dari Cirebon, dan 17.000 dari Semarang. Sementara itu telah ditolak sekitar 200.000 orang yang mendaftar diri sebagai anggota Sarekat Islam.

Dalam waktu kurang dari satu tahun Sarekat Islam sudah tumbuh menjadi organisasi raksasa. Karena itu pemerintah Hindia Belanda harus mencermati jejak Sarekat Islam yang dianggap membahayakan itu karena Sarekat Islam mampu memobilisasikan masa. Pada tahun 1914 anggota Sarekat Islam berjumlah 444.251 (Korver, 1982:225). Mengenai perkembangan yang cepat ini menimbulkan reaksi yang cepat pula dari pihak pemerintah. Gubernur Jenderal Idenburg (1909-1916) tidak menolak kehadiran Sarekat Islam dan muncul pertanyaan yang belum terjawab mengapa Sarekat Islam timbul dan cepat menjadi besar. Apa motivasi organisasi ini? Inilah yang menjadi tanda tanya besar Idenburg. Meskipun pada mulanya loyal pada pemerintah tetapi Sarekat Islam tetap tidak dapat dipercaya.

Mengapa reaksi terhadap makin luasnya keanggotaan Sarekat Islam itu, Idenburg berpendapat bahwa, menjadi jalangnya Sarekat Islam itu merupakan kenyataan bahwa orang bumiputra mulai memikirkan nasibnya dan inilah permulaan sadar dari tidurnya. Reaksi yang datang dari orang Belanda yang ketakutan di Eropa mengatakan bahwa Sarekat Islam identik dengan salah Idenburg. Sekiranya terjadi pembunuhan terhadap orang-orang Eropa oleh anggota Sarekat Islam maka itu merupakan bencana yang merupakan kesalahan Idenburg. Ditambah pula Belanda akan kehilangan jajahannya.

Kegelisahan timbul di kalangan pengusaha perkebunan sehingga di dalam surat kabar Soerabajasch Handlesbld dimuat iklan yang mencari opsir tentara Hindia Belanda yang sanggup memberi petunjuk bagaimana menjaga dan mempertahankan perusahaan perkebunan dan bangunan-bangunan lainnya. Perusahaan yang lain minta diberi izin untuk menggunakan senjata dan amunisi yang diambil dari gudang. Akan tetapi permintaan gila tidak diluluskan Idenburg.

Dari kalangan pangrehpraja berpendapat bahwa perkembangan Sarekat Islam harus diterima secara wajar, tetapi dipihak lain kehadirannya merupakan ancaman bagi keamanan dan ketertiban. Bupati yang progresif mengharuskan supaya pangrehpraja menduduki jabatan cabang Sarekat Islam. Sedangkan bupati yang konservatif akan menolak kehadiran Sarekat Islam dan dianggapnya mengurangi kewibawaannya dan mengancam kedudukannya.

Rinkes bersikap longgar terhadap Sarekat Islam, gerakan bumiputra memang sudah ada orang harus menerimanya, tetapi sebaiknya dengan jiwa dan sikap agung (van der Wal, 1967:215, 219). Bagi Idenburg, melarang begitu saja tidak ada gunanya, apalagi dengan tekanan dan penindasan. Jalan yang terbaik baginya adalah membuat kanalisasi, artinya mengurangi desakan kuat sehingga tidak timbul satu kekuatan besar yang dapat menghancurkan eksitensi kepada Sarekat Islam, sehingga organisasi ini leluasa menjalankan kegiatan tanpa ada hambatan dari pihak manapun. Idenburg hanya mau memberi badan humum pada cabang-cabang Sarekat Islam, sedangkan Central Sarekat Islam (CSI) baru akan diberikannya kemudian. Ini berarti bahwa hanya cabang lokal yang diakui secara resmi dan hubungan antara cabang dan koordinasi dari CSI diperlemah.

Dalam konsep Sarekat Islam tahun 1914 di Yogyakarta, Cokroaminoto terpilih sebagai pimpinan Sarekat Islam. Gejala konflik internal telah timbul di permukaan dan kepercayaan terhadap CSI mulai berkurang. Namun Cokroaminoto tetap mempertahankan keutuhan dengan mengatakan bahwa kecenderungan untuk memisahkan diri dari CSI harus dikutuk. Karenanya perpecahan harus dihindarkan, persatuan harus dijaga karena Islam sebagai unsur penyatu.

Politik kanalisasi dari Idenburg terbilang berhasil karena CSI baru diberi pengakuan badan hukum pada bulan Maret 1916 dan keputusan itu diberikannya pada waktu ia hampir berhenti dari jabatannya. Idenburg digantikan oleh Gubernur Jenderal van Strium (1916-1921) yang juga seperti pendahulunya bersikap simpatik terhadap Sarekat Islam. Dalam kongres tahunan yang diselenggarakan tahun 1916, Cokroaminoto secara panjang lebar menguraikan perlunya pemerintahan sendiri untuk rakyat Indonesia. Sementara itu persoalan pertahanan Hindia mulai banyak dibicarakan oleh golongan kolonial tertentu sehingga terbentuk Komite Pertahanan Hindia. Orang mengatakan bahwa Pertahanan Hindia ini berpengaruh terhadap proses kesadaran politik di Indonesia.

Pada Juni 1916 di Bandung diadakan kongres pertama yang dihadiri oleh 80 Sarekat Islam lokal yang meliputi 360.000 orang anggota. Kongres itu merupakan Kongres Nasional karena Sarekat Islam mencita-citakan supaya penduduk Indonesia menjadi satu natie atau satu bangsa dengan kata lain mempersatukan etnis Indonesia menjadi Bangsa Indonesia. Sudah disebut di atas bahwa Sarekat Islam setuju diadakannya Komite Pertahanan Hindia asal pemerintah membentuk Dewan Rakyat (Pringgodigdo, 1964:18).

Sebelum diadakanny Kongres Sarekat Islam kedua tahun 1917 di Jakarta, muncul aliran revolusioner sosialistis yang diwakili oleh Semaun yang pada waktu itu menjadi ketua Sarekat Islam lokal Semarang. Namun kongres itu tetap memutuskan azas perjuangan Sarekat Islam ialah mendapatkan zelf bestuur atau pemerintahan sendiri. Selain ditetapkan pula azas kedudukan kedua berupa Strijd tegen overheersing van het zonding kapitalisme atau perjuangan melawan penjajahan dari kapitalisme yang jahat (Pluvier, 1953:23). Sejak itu pula Cokroaminoto dan Abdul Muis mewakili Sarekat Islam dalam Dewan Rakyat.

Sudah disebut di muka bahwa keanggotaan Sarekat Islam terus meningkat dan itu terbukti dalam kongres tahun 1918 ketiga di Surabaya, anggotanya mencapai 450.000 yang berasal dari 87 Sarekat Islam lokal. Sementara itu pengaruh Semaun makin menjalar ke tubuh Sarekat Islam. Dikatakannya bahwa pertentangan yang terjadi bukan antara penjajah dan terjajah tetapi antara kapitalis dengan buruh. Karena itu perlu memobilisasikan kekuatan buruh dan tani, di samping tetap memperlakukan pengajaran dan penghapusan heerendiensten.

 Di dalam Kongres Sarekat Islam keempat tahun 1919, Sarekat Islam memperhatikan gerakan buruh atau Serikat Sekerja (SS), karena Serikat Sekerja akan memperkuat kedudukan partai politik dalam menghadapi pemerintahan kolonial. Kemudian terbentukalah Persatuan Serikat Sekerja yang beranggotakan Serikat Sekerja Pengadaian dan Serikat Sekerja Pegawai Pabrik Gula, dan Serikat Sekerja Pegawai Kereta Api.

Selanjutnya perubahan-perubahan dalam tubuh Sarekat Islam dapat dilihat dari kongres-kongresnya. Setelah terjadinya peristiwa Cimareme dan kasus Afdeling B. maka pada akhir tahun 1919 diselenggarakan Kongres Sarekat Islam keempat. Suasana kongres lesu namun sementara perjuangan Sarekat Islam tetap ditegakkan dengan landasan perjuangan antar bangsa, yang ini berarti perjuangan melawan pemerintahan kolonial harus terus dilakukan. Di dalam tahun itu pula pengaruh sosialis komunis telah masuk ke tubuh Sarekat Islam Pusat maupun cabang-cabangnya setelah aliran itu mempunyai wadah dalam organisasi yang disebutnya  Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV).

Pada Kongres Sarekat Islam kelima pada tahun 1921, Semaun melancarkan kritik terhadap kebijaksanaan Sarekat Islam Pusat sehingga timbul perpecahan. Di satu pihak aliran yang mendambakan aliran ekonomi dogmatis diwakili oleh Semaun dan aliran nasional keagamaan diwakili oleh Cokroaminoto. Kemungkinan dipersatukannya dua aliran itu ialah memformulasikan satu perjuangan Sarekat Islam menentang kapitalisme sebagai sebab utama timbulnya penjajahan. Jadi yang perlu ditentang adalah penjajahan yang disebabkan oleh tindakan kapitalis.

Rupanya gejala perpecahan semakin jelas dan dua aliran itu ternyata tidak dapat dipersatukan. Di dalam Kongres Sarekat Islam keenam yang diselenggarakan pada akhir tahun 1921 disetujui adanya disiplin partai. Sebagai akibat dilakukannya disiplin partai maka Semaun dikeluarkan dari Sarekat Islam karena berlaku ketentuan bahwa tidak diperbolehkannya merangkap dengan anggota partai lain. Dengan demikian terdapat dua aliran Sarekat Islam, yaitu 1) yang berazaskan kebangsaan-keagamaan berpusat di Yogyakarta dan 2) yang berazaskan Komunis berpusat di Semarang.

Kongres Sarekat Islam ketujuh yang diselenggarakan pada tahun 1923 di Madiun memutuskan bahwa Central Sarekat Islam diganti menjadi Partai Sarekat Islam (PSI). Selanjutnya ditetapkan berlakunya disiplin partai. Di pihak lain cabang-cabang Sarekat Islam yang mendapatkan pengaruh Komunis menyatakan dirinya bernaung dalam Serikat Rakyat yang merupakan bangunan bawah Partai Komunis Indonesia (PKI).

Azas perjuangan Partai Sarekat Islam adalah nonkooperasi, artinya organisasi itu tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial, tetapi organisasi itu mengizinkan anggotanya duduk dalam Dewan Rakyat atas nama diri sendiri. Kongres PSI 1927, menegaskan azas perjuangan bahwa tujuannya adalah mencapai kemerdekaan nasional berdasarkan agama Islam. Karena tujuannya dinyatakan dengan tegas tentang kemerdekaan nasional maka Parai Sarekat Islam menggabungkan diri dalam Pemufakatan Perhimpunan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Nama Partai Sarekat Islam dengan Indonesia untuk menunjukkan tujuan perjuangan kebangsaannya dan kemudian namanya menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) pada tahun 1927. Perubahan nama itu dapat dikaitkan dengan datangnya dr. Sukiman dari Belanda.

Di dalam organisasi Partai Sarekat Islam Indonesia terjadi perbedaan pendapat yang di satu  pihak diwakili oleh Cokroaminoto menekankan perjuangan kebangsaan. Di pihak lain dr. Sukiman keluar dari organisasi lama dan mendirikan Partai Islam Indonesia (Parii). Rupanya perpecahan itu dipandang melemahkan Partai Islam Indonesia (PII) atau perjuangan Islam maka akhirnya dua lairan itu dapat dipersatukan kembali pada tahun 1937. Persatuan dalam Partai Sarekat Islam Indonesia hanya berlangsung singkat karena dr. Sukiman memisahkan diri lagi yang diikuti Wiwoho, Kasman Singodimejo, dan lain-lain.

Pada tahun 1940 Kartosuwiryo mendirikan Partai Sarekat Islam Indonesia Kartosuwiryo setelah keluar dari Partai Sarekat Islam Indonesia yang lama. Pada saat Jepang mendarat di Indonesia, kekuatan Islam terpecah menjadi beberapa aliran Partai Sarekat Islam Indonesia Abikusno, Partai Sarekat Islam Indonesia Kartosuwiryo, Partai Islam Indonesia (Parii) dr. Sukiman. Semua aliran itu tidak berdaya pada masa pendudukan Jepang yang melarang kehidupan partai politik di Indonesia.

Dikutip dari:
Suhartono. 2001. Sejarah Pergerakan Nasional (Dari Budi Utomo sampai Proklamasi (1908-1945)). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Editor

Iskandar Muda, Pahlawankah Dia?

Iskandar Muda, Pahlawankah Dia?

Lukisan wajah Sultan Iskandar Muda. @Doc. Universitas Abulyatama.
Ada tiga fakta sejarah yang menarik ketika mengetahul Sultan Iskandar Muda mendapat anugerah sebagai Pahlawan Nasional pada 10 November 1993 lalu. Pertama, tentunya penganugerahan predikat Pahlawan Nasional dengan dasar kegigihannya mempertahankan prinsip kedaulatan. Kedua, yang menerima anugerah bukan keturunannya langsung, tetapi Syamsuddin Mahmud, selaku Gubernur Aceh. Ketiga, hal ini mengingatkan saya pada pernyataan Umar Kayam pada seminar dalam rangka PKA III, yakni, kira-kira bunyinya, setiap penguasa (tradisional) yang besar, adalah penakluk yang besar, dan sekaligus yang paling banyak menumpahkan darah, baik dari pihaknya, manpun dari pihak yang ditaklukkan.

Pernyataan ini mendapat sanggahan yang emosional dari seorang peserta. Bahwa itu pernyataan yang keliru karena Iskandar Muda adalah seorang sultan sebagaimana dirinya, tentu orang Aceh.

Lantas, adakah kini ketika Iskandar Muda dinobatkan sebagai pahlawan, dengan jarak waktu sekitar 350-an tahun ia mangkat, kita sudah mendapatkan sosok yang jelas tentang dirinya? Apa dan siapakah la. Iskandar Muda, yang telah menjadi bagian dari mitos keacehan? Raja yang sultan, yang membangkitkan emosi kita bila ada pernyataan yang “miring” terhadap dirinya. betapa pun tak jelasnya garis keturunan sang sultan.

Siapa Dia?
Iskandar Muda lahir sekitar 1590. la memiliki banyak nama dan gelar. Ada saatnya ia bernama Darmawangsa, Perkasa Alam, Tun Pangkat, Meukuta Alam dan akhirnya Meureuhum Meukuta Alam. Namun la diasuh oleh (bukan) kakeknya, Alauddin Riayat Syah. Ayah Mansur, adalah salah satu cucu dari salah satu anak Al-Kahhar. Ibunya Indra Wangsa, adalah cucu Al-Mukammil dari putri tersayang.

Jadi Alauddin, kakek pengasuhnya, menurut satu versi, anak nelayan yang perkasa, yang berhasil meniti karier sebagai laksamana. la berhasil naik tahta, karena Ali Riayat Syah, sultan yang didaulat oleh elit penguasa dikudeta. Sedangkan cucu dari anak perempuannya, yang merupakan kandidat sultan, masih dl bawah umur, dan meninggal di pangkuan Alauddin.

Namun, menurut versi lain, Alauddin adalah elit penguasa yang tertua di saat terjadi kevakuman kekuasaan. Atas kesepakatan elit lainnya. ia diangkat sebagai sultan, dan membunuh semua elit yang tak mendukung untuk mendaulatnya pada saat upacara pelantikan sebagai Sultan Aceh.

Alauddin mangkat karena dibunuh oleh anaknya, Sultan Muda. yang kemudian duduk sebagai Sultan Aceh, adalah juga paman Iskandar Muda. Demikianlah, kita dapat membayangkan bagaimana latar keluarga dan latar sosial di mana Iskandar Muda dibesarkan; dan sejauhmana pengaruhnya terhadap pembentukan wataknya.

Menjadi Sultan
Saat masih bemama Darmawangsa. ia banyak menimbulkan kesulitan bagi Sultan Muda, pamannya itu. Lantas ia meminta perlindungan pada pamannya yang lain, juga adiknya Sultan Muda, yakni Sultan Husin yang berkuasa di Pedir.

Kemudian, Perkasa Alam dilepas dari tahanan Sultan Muda karena diserahkan memimpin penyerangan ke Kuta Lubok yang dikuasai Portugis. Namun, ketika la kembali ke Kutaraja dari penyerangan yang meraih kemenangan itu, ia justru mengkudeta Sultan Muda.

Ada dua hal di sini yang menarik, pertama. ia mendapat dukungan dari Kadi Malikul Adil. Dalam lain kata, ulama istana, biasanya ulama fiqh seperti Nuruddin Ar-Raniry, juga terlibat dalam intrik politik di istana kesultanan. Kedua, Iskandar Muda menangkap Husin, paman pelindungnya, yang juga menginginkan jabatan sultan. Husin meninggal dalam status tahanan ponakannya itu.

Sebagai Sultan
Sebagaimana Alauddin, tindakan pertama yang dilakukan oleh Iskandar Muda adalah membunuh semua elit penguasa dan orang kaya lama, dan membentuk yang baru. Baru ia mengadakan penaklukkan,  di antaranya:  Johor, Pahang, Patani, Malaka, Aru dan daerah Sumatera belahan timur khususnya.

Iskandar Muda berkuasa antara tahun 1607-1636. Menurut Beaulieu, Laksamana Prancis, yang dikutip oleh Mohammad Said, sultan memiliki sejumlah kapal perang yang panjangnya 120 kaki, dengan; sejumlah bilik, dan mampu mengangkut 700-800 tentara per buah. Sultan memelihara sekitar 900 ekor gajah. Lalu tersedia baginya 300 pandai emas dan sejumlah tukang kayu, serta 1.500 hamba sahaya. Sedangkan istana dikelilingi oleh parit yang lebar dengan kedalaman 25-30 kaki, dan dinding batu setinggi 10-20 kaki dengan ketebalan 50 langkah. Untuk keamanan tersedia 500 orang pengawal khusus, 3.000 prajurit siaga, dan tujuh pucuk meriam.

Lantas kita pun dapat membayangkan bagaimana Iskandar Muda membangun jaringan kekuasaan, struktur elit baru dengan membasmi yang lama; dan juga membangun perlindungan bagi dirinya. Apakah itu semua dapat menunjukkan kondisi psikologis Iskandar Muda yang merasa kekuasaannya tidak terjamin, dan atau latar sosial  Aceh memang begitu labil pada saat itu sehingga sekalipun merupakan sebuah kesultanan (pemerintahan politik Islam tradisional) di tengah latar sosial Islam tetap saja tak terjamin keberadaannya.

Sebagai Pribadi
Istana hanya diperuntukkan bagi sultan, para  isteri, serta 20 orang putrinya dan seorang putra yang berusia 18 tahun. Beaulieu juga menginformasikan watak Iskandar, yang tidak dikutip Said melainkan oleh Denys Lombard.

Iskandar Muda sering begitu saja naik pitam dan pingsan. la sangat curiga terhadap golongan elit orang kaya, yang dianggapnya jahat dan kejam. Lantas bersama putrinya, ia sering melakukan penyiksaan terhadap wanita yang dicurigainya secara kejam hingga tiga jam lebih lamanya dengan peralatan yang telah dirancang secara khusus. Ia senang melihat penyiksaan binatang yang dilakukan atas perintahnya. Hal ini agaknya berkaitan dengan masa kanak-kanaknya yang telah berburu gajah liar pada usia 7 tahun, dan kerbau pada usia 12 tahun sebagai bagian pendidikan kesatriaan dari kakek asuhnya, Alauddin.

Namun, hal yang paling tragis adalah sebab kematian Iskandar Muda yang misterius, dan justeru terjadi pada usia kematangannya, yakni 46 tahun. Menurut satu versi, ada kemungkinan ia meninggal karena terserang penyakit yang bersumber dari Ibu Iskandar Tsani, Putri Pahang yang jelita. Sedangkan versi lain, ia diracun oleh wanita yang dikirim oleh raja Makasar ke Aceh sebagai “hadiah”.

Untuk merekonstruksi kematian Iskandar Muda, ada baiknya kita pertimbangkan hal berikut: pertama, keseluruhan proses suksesi para sultan dan sultanah Aceh; kedua. pembasmian para elit oleh Iskandar sendiri; ketiga, struktur sosial dan budaya yang labil; keempat, penjaga keamanan yang ketat di sekitar dirinya; dan kelima, khusus sikap Iskandar terhadap wanita. Kita dapat menyimpulkan kematian Iskandar Muda ada kaitannya dengan racun, wanita, intrik kekuasaan  elit sekitarnya, dan suksesi.

Penutup
Dari satu episode sejarah sekaligus puncaknya ini,  ada banyak sisi yang masih gelap dan hikmah yang dapat kita ambil. Oleh karena itu barangkali ini tugas sejarawan kita perlu melakukan rekonstruksi sejarah kesultanan Aceh. Apalagi saat ini ketika Iskandar Muda telah dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional karena hasratnya yang kuat untuk mempertahankan prinsip kedaulatan diri. Bagaimana  mungkin, seorang sultan yang telah menjelma sebagai mitos itu, garis keturunannya di saat ini menjadi begitu kabur?

Mungkin, inilah mengapa mitos itu tak pernah membangkitkan etos bagi generasi sekarang, justru ketika Aceh semakin definitif dan memiliki konstruk sosial yang lebih mapan. Itulah juga mengapa, sebagaimana mitos, tokoh itu tak meninggalkan jejak-jejak budaya di mana kita bisa merefleksikan diri, melainkan emosi-emosi apologis yang ahistoris. Namun demikian. Iskandar Muda, itulah pahlawan kita, salah satu acuan dalam pencarian diri kita sendiri.

Penulis:
Otto Syamsuddin Ishak
(Adalah Direktur Center for Region And Human Studies, Banda Aceh).
Sumber:
Bek Tuwo Budaya. 2013. Iskandar Muda, Pahlawankah Dia?. (Online). (Diakses, 28 Juli 2017).
Serambi Indonesia,  18 November 1993.

Editor

Budi Utomo

Budi Utomo

Gambar Rapat Anggota Budi Utomo. Doc. Google
Situasi sosial ekonomi di Jawa pada abad ke-19 setelah berganti-ganti dilaksanakan eksploitasi kolonial tradisional, liberal, dan etis. Semakin derasnya westerniasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial maka perubahan sosial masyarakat tidak dapat dibendung lagi. Di satu pihak batik saldo yang diperoleh pemerintah dialirkan ke Belanda dan dipihak lain kemeralatan dan kesengsaraan makin dalam melekat di hati masyarakat Indonesia.

Sebagai akibat politik etis yang di dalamnya terkandung usaha memajukan pengajaran maka pada dekade pertama abad ke-20 bagi anak-anak Indonesia masih mengalami hambatan kekurangan dana belajar. Keadaan yang demikian ini menimbulkan keprihatinan dr. Wahidin Sudirohusodo untuk dapat menghimpun dana itu maka pada tahun 1906-1907 melakukan propaganda berkeliling Jawa. Rupanya ide yang baik dari dr. Wahidin itu diterima dan dikembangkan oleh Sutomo, seorang mahasiswa School Tot Opleiding Voor Inlandsche Arsten (STOVIA) dan dari sinilah awal menuju perkembangan dan keharmonisan bagi tanah serta orang Jawa dan Madura. Akhirnya Sutomo dan rekan-rekannya mendirikan Budi Utomo (BU) di Jakarta pada tanggal 20 Mei 1908.

Untuk merealisasikannya diperlukan pengajaran bagi orang Jawa agar mendapat kemajuan dan tidak dilupakan usaha membangkitkan kembali kultur Jawa; jadi, antara tradisi, kultur, dan edukasi barat dikombinasikan.

Corak baru yang diperkenalkan Budi Utomo adalah kesadaran lokal yang diformulasikan dalam wadah organisasi modern dalam arti bahwa organisasi itu mempunyai pimpinan, ideologi yang jelas, dan anggota. Yang sangat menarik pada Budi Utomo karena organisasi ini diikuti oleh organisasi lainnya dan dari sinilah terjadinya perubahan-perubahan sosio-politik.

Reaksi yang kurang enak datang dari orang Belanda yang tidak senang akan kelahiran si Molek (sebutan untuk Budi Utomo dari Belanda) dan mengatakan bahwa orang Jawa makin banyak cincong (tingkah). Tetapi ada juga kelompok etisi yang mengatakan bahwa Budi Utomo lahir wajar dan itu merupakan renaissance atau kebangkitan di timur (oostersche renaissance) dalam arti luas kebangkitan budaya timur. Di kalangan priyai besar yang sudah mapan tidak senang terhadap lahirnya Budi Utomo sehingga para bupati membentuk perkumpulan Regenten Bond Setia Mulia pada tahun 1908 di Semarang untuk mencegah cita-cita Budi Utomo yang dianggap mengganggu stabilitas sosial mereka. Sebaliknya di kalangan buoati progresif seperti Tirtokusumo dari Karang Anyar sangat mendukung Budi Utomo.

Pancaran etno nasionalisme makin membesar dan hal ini dibuktikan dalam kongres Budi Utomo yang diselenggarakan pada tanggal 3-5 Oktober 1908. Dalam waktu singkat di dalam Budi Utomo terjadi perubahan orientasi. Kalau semula orientasinya terbatas pada kalangan priyai maka menurut edaran yang dimuat dalam Bataviaasch Nieuwsblad tanggal 23 Juli 1908, Budi Utomo Cabang Jakarta mulai menekankan cara baru bagaimana memperbaiki kehidupan rakyat. Di dalam kongres itu terdapat dua prinsip perjuangan, yang pertema diwakili golongan muda cenderung menempuh jalan perjuangan politik dalam menghadapi pemerintah kolonial, sedangkan yang kedua diwakili oleh golongan tua yang ingin tetap pada cara lama, yaitu sosio kultural. Bagi golongan muda perjuangan itu sangat tepat guna memberikan imbangan politik pemerintah. Orientasi politik semakin menonjol dan kalangan muda mencari organisasi yang sesuai dengan mendirikan Sarikat Islam dan Indische Party (IP) sebagai wadahnya.

Dalam perkembangan selanjutnya, meskipun ada kelompok muda yang radikal, tetapi kelompok tua tetap meneruskan cita-cita Budi Utomo yang mulai disesuaikan dengan perkembangan politik. Pada tahun 1914 ketika pecah Perang Dunia I Budi Utomo turut memikirkan cara mempertahankan Indonesia dari serangan luar dengan mengadakan milisi yang diberi wadah dalam Komite Perhanan rakyat. (volksraad) pada tahun 1918, wakil-wakil Budi Utomo duduk di dalamnya yang jumlahnya cukup banyak dan hal ini karena pemerintah tidak menaruh kecurigaan pada Budi Utomo dan sikapnya yang sangat moderat.

Pada dekade ke 3 abad ke 20, kondisi-kondisi sosial politik makin mantang dan Budi Utomo mulai mencari organisai politik yang mantap dan mencari massa yang lebih luas. Kebijaksanan politik yang dilakukan oleh pemerintah kolonial, khususnya tekanan terhadap pergerakan nasional, maka Budi Utomo mulai kehilangan wibawa dan terjadilah perpisahan kelompok moderat dan radikal dalam tubuh Budi Utomo. Pengaruh Budi Utomo makin berkurang pada tahun 1935, organisasi ini bergabung dengan partai lain menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra). Sejak saat itu, Budi Utomo terus mundur dari arena politik dan kembali ke keadaan sebelumnya. Walaupun ketua partai itu dr. Sutomo, salah seorang yang menerima ilham dari dr. Wahidin Sudirohusodo, orang sudah tidak banyak mengharapkan lebih banyak kegiatan dan pimpinannya. Namun demikian dengan segala kekurangannya, Budi Utomo telah mewakili aspirasi pertama dari rakyat Jawa ke arah kebangkitan dan juga aspirasi rakyta Indonesia. Hampir semua pempinan terkemuka dari gerakan-gerakan nasional Indonesia pada permulaan abad ke-20, paling kurang telah mempunyao kontak dengan organisasi ini.

Mengapa Budi Utomo tidak langsung terjun ke lapangan politik seperti organisasi yang kemudian lahir? Rupanya Budi Utomo menempuh cara dan menyesuaikan dengan situasi dan kondisi pada waktu itu sehingga wajar jika Budi Utomo berorentasi kultural. Tindakan yang tepat berarti Budi Utomo tanggap terhadap politik kolonial yang sedang berlaku. Contohnya ialah bahwa pemerintah sudah memasang rambu  Regeerings Reglement (RR) pasal 111 yang bertujuan membatasi hak untuk rapat dan berbicara yang dengan lain perkataan hak berpolitik dibatasi. Selama RR masih berlaku maka kegiatan Budi Utomo hanya terbatas pada bidang sosio-kultural. Ini merupakan bukti bahwa Budi Utomo selalu menyesuaikan diri dengan keadaan sehingga gerakan kultural lebih mewarnai kegiatan Budi Utomo pada fase awal. Kebudayaan sendiri dijunjung tinggi guna menghargai harkat diri agar mampu menghadapi kultur asing yang masuk.

Dalam perjalanannya, Budi Utomo dengan fleksibilitasnya itu mulai menggeser orientasinya dari kultur ke politik. Edukasi barat dianggap penting dan dipakai sebagai jalan untuk menempuh jenjang sosial yang lebih tinggi. Golongan priyai kecil mendapat kesempatan untuk ikut serta memobilisasikan diri melalui kesempatan gerakan yang lebih merakyat. Usaha ini bersamaan dengan munculnya golongan menengah Indonesia dalam rangka memperoleh perbaikan sosial ekonomi maka tindakan-tindakannya harus disesuaikan dengan jalur politik. Meskipun demikian Budi Utomo juga tidak cepat-cepat mengubah kehaluan politik semata dan ini memang dikuatkan oleh Dwijosewoyo bahwa, “tenang dan lunak adalah sifat BU”.

Budi Utomo bukan hanya dikenal sebagai salah satu organisasi nasional yang pertama di Indonesia, tetapi juga sebagai salah satu organisasi yang terpanjang usianya sampai dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Memang Budi Utomo, seperti yang sudah disinggung di atas, mempunyai arti penting, meskipun kalau dihitung jumlah annggotanya hanya 10 ribu, sedangkan Serikat Islam 360 ribu, Budi Utomo lah penyebab berlangsungnya perubahan-perubahan politik hingga terjadinya integrasi nasional, maka wajarlah kalau pada kelahiran Budi Utomo tanggal 20 Mei disebut sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Lahirnya Budi Utomo menampilkan fase pertama dari nasionalisme Indonesia. Fase ini menunjukkan pada etno nasionalisme dan proses penyadaran diri terhadap identitas bangsa Jawa.

Sumber:
Suhartono. 2001. Sejarah Pergerakan Nasional (Dari Budi Utomo sampai Proklamasi (1908-1945)). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Editor

Indonesia Sebagai Anggota OPEC

Indonesia Sebagai Anggota OPEC

Gambar Logo OPEC @Doc. Google.
Peranan Indonesia
Indonesia pertama kali bergabung dengan Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) pada tahun 1962. Sejak menjadi negara anggota, Indonesia ikut berperan aktif dalam kegiatan yang dilaksanakan OPEC, khususnya dalam penentuan arah dan kebijakan dalam rangka menstabilisasi jumlah produksi serta harga minyak di pasar internasional.

Sejak berdirinya Sekretariat OPEC di Wina, Austria tahun 1965. Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) atau Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Wina, terlibat aktif dalam penanganan masalah subtansi serta diplomasi di berbagai persidangan yang diselenggarakan oleh OPEC dan kegiatan pemantau harga minyak.

Begitu besar peran yang ditunjukan Indonesia selama menjadi anggota OPEC, menjadikan Indonesia dipercaya sebagai Sekjen OPEC dan Presiden Konferensi OPEC untuk pertama kali pada tahun 1969. Sejak saat itu, Indonesia sempat beberapa kali dipercaya kembali sebagai Sekjen OPEC, yakni tahun 1988 dan yang terakhir tahun 2004.

Hambatan Indonesia
Selama menjadi anggota OPEC, Indonesia sempat mengalami hambatan, khususnya menjelang tahun 2008. Dampak dari krisis dan kenaikan harga minyak dunia yang terjadi di awal tahun, mengakibatkan posisi Indonesia di lembaga OPEC menjadi diragukan. Bahkan di dalam negeri, statuta kenggotaan Indonesia di OPEC juga menjadi wacana perdebatan berbagai pihak.

Kenaikan harga minyak dunia ternyata berdampak terhadap perekonomian Indonesia. Harga minyak yang tinggi mengakibatkan pengeluaran untuk barang dan jasa lain berkurang dikarenakan pengeluaran untuk minyak yang naik. Meskipun pada mulanya kenaikan harga minyak tersebut memberikan pendapatan yang besar, akan tetapi pergeseran terms of trade yang terjadi di Indonesia membuat pendapatan langsung berkurang karena kekakuan upah riil, harga dan struktural dalam perekonomian. Akibat permasalahan yang terjadi di dalam negeri, akhirnya Indonesia mengumumkan akan keluar dari anggota OPEC pada Maret tahun 2008.

Lembaga OPEC kemudian mengkomfirmasi keluarnya Indonesia sebagai negara anggota pada tanggal 10 September 2008. Keputusan itu diambil setelah Indonesia dianggap mampu lagi sebagai negara produsen minyak, melainkan telah menjadi negara pengimpor minyak (net importer). Sejak saat itu, Indonesia harus menjadi negara peninjau dan membayar biaya 2 juta dollar untuk iuran (http://www.opec.org).

Peluang Indonesia
Meskipun secara ekonomi keanggotaan peninjau Indonesia di OPEC diwajibkan untuk tetap membayar iuran keanggotaan sebesar US$ 2 juta setiap tahunnya. Namun posisi tersebut juga memberikan beberapa keuntungan disamping hambatan-hambatan yang terjadi di atas. Adapun keuntungan yang didapatkan Indonesia seperti keuntungan politis, yaitu sebagai berikut:

• Meningkatkan posisi Indonesia pada proses tawar-menawar dalam hubungan internasional.
Kedudukan Menteri ESDM dalam kapasitasnya sebagai Presiden Konferensi OPEC sekaligus Akting Sekjen OPEC pada tahun 2004, telah memberikan posisi tawar yang sangat tinggi dan strategik serta kontak yang lebih luas dengan negara-negara produsen minyak utama lainnya.

• Peningkatan citra Indonesia di luar negeri. 
Pemberitaan mengenai persidangan dan kegiatan OPEC lainnya yang sangat luas secara otomatis dapat mengangkat citra negara anggota. Perhatian media massa lebih terfokus ketika pejabat Indonesia (Menteri ESDM) memegang jabatan sebagai Presiden Konferensi OPEC.

• Peningkatan solidaritas antar negara berkembang. 
Di dalam forum-forum OPEC, semua negara anggota memiliki visi dan misi yang sama di bidang energi serta menjadikan OPEC sebagai wahana bersama untuk meningkatkan rasa persaudaraan sesama negara anggota dan negara berkembang lainnya.

• OPEC Fund 
Lembaga keuangan OPEC telah memberikan bantuan dana darurat sebesar 1,2 juta Euro, dimana separuhnya diperuntukkan bagi Indonesia, untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Sumatera Utara yang dilanda gempa bumi dan tsunami pada akhir tahun 2004.

• Akses terhadap Informasi. 
Sebagai anggota OPEC, Indonesia mendapat akses terhadap informasi, baik yang bersifat terbuka dari Sekretariat OPEC maupun informasi rahasia mengenai dinamika pasar minyak bumi. Di samping itu, Indonesia memiliki kesempatan untuk menempatkan SDM-nya untuk bekerja di Sekretariat OPEC. Hal ini merupakan investasi jangka panjang karena akan dapat menjadi network bagi Indonesia di masa datang.

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan oleh OPEC, lembaga ini memiliki peranan penting khususnya mentukan produksi dan harga minyak dunia, diperkirakan hingga sampai tahun 2025. Hal ini dikarenakan pasar negara-negara OPEC dianggap masih lebih besar daripada negara-negara non-OPEC. Peranan OPEC yang penting dapat dilihat selama tahun 2004, di mana saat harga minyak mentah dunia melambung tinggi, OPEC mampu menstabilkan dengan menjaga pasokan minyak dunia. 

Posisi keanggotaan Indonesia di OPEC masih diperlukan oleh negara-negara anggota lainnya. Indonesia dipandang sebagai negara yang memiliki dan selalu menjaga solidaritas OPEC serta selalu berusaha membangun dialog konstruktif serta konsekuensus di dalam OPEC. Lembaga OPEC tetap membutuhkan Indonesia sebagai faktor penyeimbang dalam komposisi negara-negara anggota. Sehubungan dengan itu, Indonesia merupakan satu-satunya negara Asia yang menjadi anggota OPEC selain negara-negara Timur Tengah yang mendominasi. Oleh karena itu, posisi Indonesia dianggap membantu perbaikan citra OPEC di dunia internasional.

Daftar Sumber:
Bappenas, 2008. Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC). (Online). (Diakses Senin 13 Maret 2017).
BBC Indonesia. 2008. Indonesia Akan Tinggalkan OPEC. (Online). (Diakses Senin Senin 13 Maret 2017).
Ibu Nuur. 2013. Sejarah dan Latar Belakang Organisasi. (Online). (Diakses Senin 13 Maret 2017).
Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC). (Online). (Diakses Senin 13 Maret 2017).
Robbins, Stephen P.,2006. Prilaku Organisasi: Kelompok Gramedia.
Sejarah Negara. Sekilas Tentang OPEC. (Online) (Diakses Senin 13 Maret 2017).
Wikipedia. OPEC. (Online). (Diakses Minggu 12 Maret 2017).

Penulis: 
Mhd. Saifullah
Editor:

10 Ilmuwan Wanita Terpopuler Sepanjang Sejarah

10 Ilmuwan Wanita Terpopuler Sepanjang Sejarah

Dunia pernah mencatat sejumlah ilmuwan wanita pernah lahir dan berkarya. Meski prestasi mereka kerap tidak akui, namun setidaknya mereka pernah menghiasai khazanah ilmu pengetahuan di dunia. Siapa sajakah mereka? Berikut artikel singkatnya:

1. Marie Curie, Polandia (1867-1934)
Marie Curie. @Doc. Sindonews.com
Marie Curie adalah seorang kimiawan dan fisikawan terkenal di bidang radioaktiv. Dia adalah profesor wanita pertama di Universitas Paris yang memenangkan Hadiah Nobel di dua bidang berbeda. Marie memberikan kontribusi luar biasa dalam aktivitas radioaktif. Ia menemukan dua elemen baru radium dan polonium. Teori radioaktiv yang diajarkan hari ini di kursus kimia ditemukan Marie Curie. Untuk pengobatan kanker, ide menggunakan isotop radioaktif juga diperkenalkan oleh wanita luar biasa ini.

2. Jane Goodall, Inggris (1934-sekarang)
Jane Goodall . @Doc.  Sindonews.com
Jane Goodall baru-baru ini dikenal sebagai UN Messenger of Peace. Dia adalah ahli primata dan etholog dan atropolog asal Inggris. Dunia mengenalnya dengan penelitian ekstensif mengenai budaya sosial simpanse di Taman Nasional Gombe Stream di Tanzania. Goodall dianggap sebagai ahli paling terkemuka di dunia tentang simpanse.

3. Maria Mayer, Jerman (1906-1972)
Maria Mayer. @Doc. Sindonews.com
Maria Mayer adalah seorang fisikawan AS kelahiran Jerman. Dia adalah pemenang Hadiah Nobel dalam Fisika dan sebuah nama Nobel di Fisika nuklir. Model inti nuklir dari inti atom disarankan oleh Maria. Dia menyelesaikan gelar Ph.D dari Universitas Gottingen pada 1930.

4. Rachel Carson, AS (1907-1964)
Rachel Carson. @Doc. Sindonews.com
Rachel Carson dianggap ibu dari gerakan lingkungan. Ahli biologi kelautan AS ini lahir di kota sungai Springdale. Dia mendapatkan gelar M.A di bidang zoologi pada 1932 dari Universitas John Hoskins. Karyanya merevolusi gerakan lingkungan global. Rachel bergabung dengan Biro Perikanan A.S sebagai ahli biologi namun mengundurkan diri pada 1952. Dia mendedikasikan sisa hidupnya untuk ekologi kehidupan.

5. Rosalind Franklin, Inggris (1920-1958)
Rosalind Franklin. @Doc. Sindonews.com
Semua orang mengenal nama Rosalind Franklin. Dia terkenal dengan karyanya pada struktur molekul dari batubara, grafit, dan difraksi X -ray. Biofisika Inggris ini mengungkapkan struktur DNA dengan difraksi sinar-X dan menyimpulkan bahwa DNA terdiri dari heliks ganda atom. Dia juga mengusulkan bahwa DNA dapat dikristalisasi dalam dua bentuk berbeda A dan B.

6. Barbara Macclintock, AS (1902-1992)
Barbara Macclintock. @Doc. Sindonews.com
Barbara Macclintock adalah ilmuwan genetika paling berpengaruh. Ahli sitogenetik AS ini telah menerima Hadiah Nobel untuk penemuan transposisi genetik pada 1983. Dia menemukan sekuens DNA yang dapat mengubah lokasi di dalam gen tersebut. Orang pertama yang menghasilkan peta genetik untuk jagung adalah MacClintock.

7. Gertrude Belle Elion, AS (1918-1999)
Gertrude Belle Elion. @Doc. Sindonews.com
Gertrude Belle Elion adalah ahli farmakologi dan biokimia AS. Dia bekerja di bidang medis dan merumuskan sejumlah besar obat baru untuk kesejahteraan manusia. Karyanya mengkonseptualisasikan AZT, obat antiretroviral yang digunakan untuk AIDS. Atas prestasinya, ia menerima hadiah Nobel pada 1988 di bidang Kedokteran dan Fisiologi.

8. Ada Lovelace, Inggris (1815 -1852)
Ada Lovelace. @Doc. Sindonews
Ada Lovelace adalah programmer komputer dan matematikawan pertama di dunia. Dia terkenal dengan penelitiannya tentang komputer umum umum Charles Babbage. Pengamatannya pada komputer mekanik mengenalkan konsep algoritma pertama. Dia memiliki ketertarikan pada matematika sejak usia dini.

9. Dorothy Hodgkin, Inggris (1910-1994)
Dorothy Hodgkin. @Doc. Sindoneews.com
Dorothy Hodgkin adalah ahli biokimia terkenal Inggris. Dia sangat tertarik pada bidang biokimia dan selalu penasaran untuk menemukan bentuk molekul dan fungsinya. Hodgkin adalah wanita ketiga yang menerima hadiah Nobel pada 1964 dalam biokimia untuk menemukan struktur Vitamin V12. Dirinya ilmuwan yang mempelopori bidang kristalografi sinar-X dan menemukan struktur berbagai molekul biologis.

10. Anita Roberts, AS (1942-2006)
Anita Roberts. @Doc. Sindonews.com
Anita Roberts adalah seorang ahli biologi AS yang lahir pada 3 April 1942 di Pennsylvania. Dia meraih gelar doktor dalam bidang biokimia pada 1968 dari Wisconsin-Madison University. Pekerjaannya yang luar biasa selalu diingat dalam sejarah karena penemuan protein TGF beta, yang diperlukan untuk patah tulang dan penyembuhan luka. Dia sangat berdedikasi pada pekerjaannya meski sempat menderita kanker lambung namun tidak menghentikan penelitiannya. Pada 2006 dia meninggal.

Sumber:

Editor
Back To Top